Kamis, 29 Desember 2011

ushul fiqhi

BAB II
PENGRTIAN DAN RUANG LINGKUP USHUL FIQHI

A. Pengertian Ushul Fiqhi
Kata ”fiqhi” secara etimologi berati paham yang mendalam. Sedangkan kata “ushul”Yang merupakan jamak darikata “ashal” (اصل) secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya. Dengan demikian “ushul fiqhi” berarti :” ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci”. Atau dalam artian lain adalah: “kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.
Misalnya dalam kitab-kitab fiqhi ditemuka ungkapan, mengerjakan sholat itu hukumnya wajib. Wajibnya mengerjakan sholat disebut “hukum syara”. Tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits bahwa sholat itu hukunya wajib. Yang tersebut dalam al-Qur’an hanyalah mengerjakan sholat yang berbunyi:
( اقيموا الصلاة ) yang artinya “dirikanlah sholat”.
Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan sholat itu disebut “dalil syara’”. Untuk merumuskan kewajiban sholat yang disebut “hukum syara’” dari firman Allah (اقيموا الصلاة) yang disebut “dalil syara’” itu ada aturanya dalam kaidah. Umpanya setiap perintah itu menunjukan wajib. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ilmu ushul fiqhi”.
B. Objek kajian ushul fiqhi dan fiqhi
a. Objek kajian ushul fiqhi
Adapun yang menjadi objek pembahasan ushul fiqhi adalah dalil – dalil syara’ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali. Ulama sepakat bahwa al-Qur’an adalah dalil syara’ yang pertama. Gambaran Al-Qur’an kepada hukum tidak hanya mengunakan satu kalimat tertentu, akan tetapi beragam bentuknya, seperti: kalimat perintah (shighat amr), kalimat larangan (shighat nahy), kalimat yang bersifat umum, mutlak, dan sebagainya. Ketika pembahasan mereka dapat menemukan bahwa shighat (bentuk) amr (perintah) itu mengandung makna pegwajiban (al-ijab), shighat nahy (larangan) mengandung makna pengharaman (al-tahrim), sighat am (umum) mengadug makna tercakupnya seluruh satuan yan terdapat dalam pengartian umum itu secara pasti, dan shighat ithlaq (mutlak) mengandung makna pengertian tetapnya hukum secara mutlak, maka mereka menciptakan kaidah-kaidah sebagai berikut :
 Perintah itu untuk mewajibkan الا مر للا بجاب ))
 Larangan itu untuk mengharamkan (النهى للتحريم )
 Lafaz umum itu mencangkup seluruh satuannya (العام ينتظيم جميع اضراده قطعا)
 Lafaz mutlak itu mengacu kepada satuan secara umum tanpa terkait (المطلق يدل على جميع اضراده بلا قيد )

Dalam versi lain, sebagian ushul fiqhi mengatakan bahwa objek pembahasan ilmu ushul fiqhi kembali pada memetapkan dalil-dalil untuk hukum-hukum (اثبات الادلة للآ حكام) dan tetapnya hukum-hukum berdasarkan dalil-dalil ( ثبوت الادلة بالا حكام ). Untuk melengkapi persepsi tentang pembicaraa ini dapat dilihat dalam firman Allah swt yakni: (فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ) artinya:
” Maka merdekakanlah olehmu seorang budak”.
Adalah dalil tentang wajibnya memerdekakan budak dari orang yang muzhihar istrinya, tetapi bermaksud rujuk. Kalimat raqabah dalam ayat itu berarti seorang budak secara mutlak tanpa mengaitkannya dengan sesuatu sifat tertentu, sehingga mukallaf yang dituju oleh perintah itu bebes memilih seorang budak; Muslim atau bukan. Dengan memahami keterangan diatas,ada ulama yang lebih memerinci lagi objek pembahasan ilmu ushul fiqhi ini kepada pembahasan tentang dalil,hukum, kaidah-kaidah, dan ijtihat.
b. Objek kajian fiqhi
Yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqi ialah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’ . Perbuatan tersebut dikelompokan dalam taga kelompak yaitu: ibadah, mu’amalah, dan uqabah
Ibadah mencangkup segala persoalan yang menyangkut dengan akhirat. Dan mu’amalah mencangkup hal yang berhubungan dengan sewa-menyewa, jual beli, pinjam meminjam, amanah dan harta pninggalan, serta termasuk didalamnya munakahat dan siyasah. Sedangkan uqabah mencangkup segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana.

C. Manfaat mempelajari ushul fiqhi
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqhi yang dirumuskan oleh ulama terdahulu,maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang belum ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqhi terdahulu,maka kita akan cari jawabanya dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah masalah hukum fiqhi yang terurai dalam kitab fiqhi, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapanya diakibatkan oleh perubahan zaman, dan ingin merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya kaidah baru dalam fiqhi. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama kontemporer dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ilmu ushul fiqhi.
D. Maqasid Al- Syariah
Maqasid Al- Syariah berarti tujuan Allah dan Rosulnya dalam memutuskan hukum islam. Sementara menurut Wahba Al-Zuhili Maqasid Al- Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukmnya. Dan adapun 5 pokok tujuan islam yaitu:
1. Untuk memelihara agama
2. Untuk memelihara jiwa
3. Untuk memelihara akal
4. Untuk memelihara keturunan, nasab, dan kehormatan
5. Untuk memelihara harta benda


BAB III
TUJUAN POKOK DISYARIATKANYA HUKUM ISLAM
A. Dharuriyat
Dharuriyat ialah segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia harus ada demi kemaslahatan meraka. Hal itu tersimpul kepada lima sendi utama: yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatanya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
B. Hajiyat
Hajiat ialah segala sesuatu yang sangt dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya, ketiadaan aspek hajiat ini tidak akan sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja. Prinsip utama dalam aspek hajiaat ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mereka.
C. Tahsiniyah
Tahsiniyah ialah tindakan atau sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan Al-Mukarim Al-Ahlak, serta pemeliharaan tindakan- tindakan utama dalam bidang ibadah,adat, dan muamalah. Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan seperti tidak terwujud dalam aspek dharuriyat.
Aspek tahsiniyah dalam aspek ibadah ialah kewajiban membersihkan diri dari najis,menutup aurat, berhias bila hendak ke mesjid, dan melakukan amal-amal sunnah dan sedekah.
1. Sekitar pengertian ijtihad
Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata jahada (جهد ) yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata “ijtihad” dipakai mengikuti wazan Ifti’al ( افتعال ) yang “berarti bersngkutan dalam pekerjaan”. Dengan demikian, kata ” jihad” ( جهد) dan “ijtihad” ( اجتهاد) berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata ijtihad bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedangkan kata jihadbergera dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.
Ulama ushuliyin mengartikan ijtihad dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam mengistinbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperici.
a. Dasar hukum ijtihad
Firman Allah swt:
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.



Hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a mengenai ijtihad.

اَلْحَاكِمُ اِذَا اجْتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِنِ جْتَهَدَ فَاَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ. (رواه بخارى و مسلم)

Artinya:
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

b. Fungsi ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran.
c. Lapangan ijtihad
Pada prinsibnya, ijtihad adalah manifestasi pemikiran kefilsafatan. Ijtihad juga bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian.
d. Syarat-syarat ijtihad
1. Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. yaitu harus paham ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk didalamnya harus mengetahui Asbab al-Nuzul (latar belakang turunnya al-Qur’an), Nasikh Mansukh (ayat yang mengganti atau yang di ganti), Mujmal Mubayyan (kalimat yang global dan yang parsial), al-’Am wa al-Khash (kalimat yang umum dan yang khusus), Muhkam Mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samar), dan sebagainya.
2. Memiliki ilmu yang luas tentang Hadits Nabi Muhammad SAW, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti Asbab al-Wurud (latar belakang munculnya Hadits) dan Rijal al-Hadits (sejarah para perawi Hadits)
3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama (‘Ijma)
4. Memahami Qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum
5. Menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu Nahwu, Sharf, Balaghah dan lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara memproduksi hukum)
6. Memahami serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan hukum Islam adalah rahmah li al-alamin, yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyyat (primer atau pokok), hajiyyat (sekunder atau pelengkap), dan tahsiniyyah (tersier atau keindahan)
7. Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum.









BAB IV
HUKUM-HUKUM SYARIAT
A. Pembahasan hukum dalam ilmu ushul fiqhi ada Empat, sebagai berikut:
1. Hakim
Hakim yaitu orang yang menjatuhkan keputusan.
2. Hukum
Hukum yaitu keputusan yang dikeluarkan oleh Hakim.
3. Mahkum Faih
Mahkum Faih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum.
4. Mahkum Alaih
Mahkum Alaih yaitu mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang bersangkutan dengan hukum.
B. Hukum Syara’
Hukum syara’ menurut istilah Ulama Ushul, ialah doktrin (khitab) syara’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (Taqrir) sebagaimana firman Allah swt:
اَوْفُوْا بِا لعُقُوْدِ Artinya:”penuhilah janji”. Adalah kitab syari’ yang bersangkutan dengan memenuhi janji yang dituntut untuk mangerjakannya. Adapun hukum syara’ menurut Ulama Fiqhi ialah, efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan, seperti wajib, haram dan mubah. sebagaimana firman Allah swt:
اَوْفُوْا بِا لعُقُوْدِ Artinya:”penuhilah janji”.
Dari definisi hukum syara’ menurut istilah Ulama Ushul, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu ada kalanya bersangkutan dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau dari segi diperintah memilih atau dari segi ketetapanya.
C. Lima jenis hukun dalam istilah fiqhiاحكام الخمسة) (
1. Taqliq
Menurut bahasa ialah mengulangi, meniru, mengikuti. Sedangkan menurut istilah ialah penerimaan perkataan seseorang, sedangkan anda tidak mengetahui dari mana asal kata itu.
2. Ittiba’
Yang berarti menurut atau mengikuti. Ittiba’ ialah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rosul saw.
3. Talfiq
Berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Artinya mengambil atau mengikuti hujum dari satu peristiwa,atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab.
4. Qaul Qadim
Ialah fatwah atau pendapat imam syafi’I ketika berada di Iraq, pda zaman Khalifah Harun Ar-Rawyid.
5. Qaul Jadid
Ialah fatwah atau pendapat imam syafi’I setelah berpindahnya ke Mesir.


D. Pembagian hukum wadh’i ( positif ) yaitu:
1. Sebeb 4. Rukhsah
2. Syarat 5. Azimah
3. penghalang (mani’)

E. sumber hukum dan dalil hukum dalam islam
Dalam bahasa Arab istilah sumber hukum Islam mempunyai beberapa penyebutan, diantaranya adalah أصول الأحكام ushul al-ahkam (dasar hukum),مصادر الأحكام mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) dan دليل dalil, ketiganya memiliki makna yang hampir sama (muradif). Kata “Sumber-sumber hukum Islam” merupakan terjemah dari lafadz مصادر الأحكام (mashadir al-ahkam). Istilah ini kurang populer di kalangan ulama fiqh klasik, mereka lebih sering menggunakan istilah dalil-dalil syariat الأدلة الشرعيةl (Al-adilah asy-syar'iyyah). Kata "sumber hukum" hanya berlaku pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah, sedangkan "dalil-dalil hukum" adalah merupakan alat (metode) dalam menggali hukum-hukum dari kedua sumber hukum Islam.
Sedangkan الدليل (Ad-dalil ) merupakan petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu. Kata dalil adalah kata dalam bentuk tunggal (mufrad) الدليل (al-dalil) bentuk jama'nya adalah الأدلة (Al-adilah). Dalil menurut bahasa adalah :
االهادي إلى أي شيء حسي أو معنوي
“Petunjuk jalan kepada segala sesuatu baik yang sifatnya real/nyata atau bersifat maknawi/abstrak”.
Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan (ijma')para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits, hal ini sebagaimana yang termaktub dalam QS Al-Nisaa ayat 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.( QS Al-Nisaa ayat: 59).
Sedangkan hadist Nabi yang menunjukan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah sumber hukum Islam adalah riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Artinya:
“Dari Miqdam bin Ma'di Kariba Al-Kindy dia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah) ketahuilah sungguh telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah). (H.R Ahmad) no. 16546.

a. Pengertian Qiyas
Secara etimologi, kata “qiyas” berarti ( قدر ) artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sedangkan menurut terminologi terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantaranya adalah, menurut Shadru Al-Syari’ah mengatakan bahwa:
تَعْدِيَةُ حُكْمٍ مِنَ اْلآَصْلِ اِلَى اْلَفرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَا تُعْرَفُ بِمُجَرَّ دِفَهْمِ اللُّغَةِ
“Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena ada kesatuan illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughawi semata”.

Dalam Syarah Al-Waraqat disebutkan bahwa qiyas adalah “Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok) dengan sebab adanya illat yang sama”.
b. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun yaitu:
1. Ashl
Ashl merupakan masalah yang ditetapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah,yaitu wadah yang terdapat padanya hukum untuk disamakan dengan yang lain. Disamping itu, ada yang menyebutnya dalil Al-hukum.
2. Hukum Ashl
Hukum Ashl adalah hukum syara’terdapat pada ashl yang ditetapkan nash atau ijma, yang handak diberlakukan pada furu’dengan cara qiyas.

3. Furu’
Furu’ atau cabang adalah suatu masalah yang tidak ada ketegasan hukumya dalam Al-Qur’an, sunnah dan ijma’yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.
4. Illat
Secara bahasa adalah sesuatu yang bisa merubah keadaan.
c. Contoh penerapan qiyas dalam masalah minuman keras dan narkotika.
Allah mengharamkan khamar dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamar, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamar. Karena sebab atau alasan pengharaman khamar yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamar.
Keharaman narkotika yang ditetapkan melalui qiyas terhadap ketentuan keharaman khamar dalam surah Al-Maidah ayat:90
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٩٠﴾
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.(Q.S. Al-Maidah: 90)


BAB V
METODE IJTIHAD

A. Mashlahah Mursalah ( المصلحة المرسلة )
1. Pengertian
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu “Mashlahah” ( المصلحة ) dan “Mursalah” ( المرسلة ) yang berhubungan keduanya dalam bentuk sifat- mausufh, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkn bahwa ia bagian dari Al-mashlahah. Mashlahah (مصلحة ) berasal dari kata “salahah” ) ( صلح dengan penambahan alif diawalnya yang secara arti katab”baik” ia asalah masdar dengan bdengan arti kata “shalahan” صلاح )), yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian mashlahah dalam bajhasa Arab yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artian umum yaitu segala sesuatu yang bermanfat bagi manusia.
“Mursalah” (مرسلة ) adalah isim maf’ul (objek) dari fiil madhi yaitu “rasala” (رسل ) dengan penambahan alif pada awalnya sihingga menjadi “arsala”( ارسل ). Seara etimologis berarti terlepas. Maksudnya ialah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukan bolehnya dilakukan. Adpun definisi mashlahah mursalah menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustasyfa merumuskan mashlahah mursalah sebagai berikut:
مَالَمْ يَشْهَدْلَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْبُطْلَانِ وَلَا بِا ْلإِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
“Apa-apa mashlahah yang tidak ada bukti baginya dari syara’dalam bentuk nash tertentu yang membatalkanya dan tidak ada yang memerhatikanya”.
Dari definisi diatas maka kita dapat menarik kesinpulan bahwa mashlahah mursalah ialah “sesuatu yang baik menurut akal, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum”.
2. UU di Indonesiayang bersumber dari kaidah mashlahah mursalah
pada peraturan UU lalu lintas yaitu pada peraturan UU lalu lintas.
B. Syar’u Man Qablana
Para ulama menjelaskan bahwa syriat sebekum kita atau syar’u man qablana (شرع من قبلنا ) ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oen para Nabi dan Rosul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad saw.
Adapun contoh syariat umat terdahulu yang masih dilestarikan dalam syariat islam (syariat Nabi Muhammad saw) ialah, sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits disyariatkan untuk umat terdahulu dan dinyatakan pula berkaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya yakni: dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾
Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah:183)
Dalam ayat ini, dijeskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad saw. Contoh yang kedua dalam hadits Rosul saw ialah:
ضَحُّوْا فَإِنَّهَا سُنَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَهِيْمَ
Artinya:
“ Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu,Ibrahim”.

C. Saddu Al-Zari’ah
Secara etimologi Al-Zari’ah ialah itu berarti:
الَوسِيْلَةُ الَّتِى يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى الشَّيْئِ سَوَاءٌ كَاَن حَسِيًا اَوْ مَعْنَوِيًّا
“Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik baik atau buruk”.
Untuk menempatkanya dalam bahasa sesuia yang dituju, kata dzariah itu didahului dengan saddu (سدّ) yang artinya menutup; maksudnya ialah menutup jalan terjadinya kerusakan. Dan perantara kepada sesuatu perbuatan yang dikenai hukum, maka ia disebut dzari’ah. Adapun contoh Saddu Al-Zari’ah ialah:
Sebanarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu dilarang. Ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang itu diantaranya ialah:




وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.(Q.S Al-An-am:108).
Cotoh yang kedua Saddu Al-Zari’ah ialah,sebanarnya menghentakan kaki itu boeh-bolehnsaja bagi perempuan, namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi itu dapat diketahi orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakan kaki itu dilarang.sebagaimana firman Allah swt:
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾
Artinya:
”Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.(Q.S. An-nur: 31).






BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ilmu ushul fiqhi”. Adapun yang menjadi objek pembahasan ushul fiqhi adalah dalil – dalil syara’ itu sendiri. Yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqi ialah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.
lima sendi utama: yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatanya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu ada kalanya bersangkutan dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau dari segi diperintah memilih atau dari segi ketetapanya. Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan (ijma')para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa, makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekeliruan yang terdapat pada makalah ini, oleh sebab itu penulis mengharapkan sumbangsi dari Bapak Dosen yang berupa kritikan halus atau saran sebagai masukan, demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin Amir, Ushul fiqhi jilid 2. Ed.1. cet. 5; xiv, 482 hlm,23 cm. Jakarta: Perpustakaan Nasional.Kencana 2009.
Syarifudin Amir, Ushul fiqhi 1. Ed.1. cet. 5; xii, 482 hlm,23 cm. Jakarta: Perpustakaan Nasional, Kencana 2009.
Kato Alaidin,Haji. Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqhi. Ed.1, cet.1. Jakarta: PT. Raja grafindo,2004.

ushul fiqhi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu syariah itu pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama, tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagian hidup didunia maupun diakhirat, maka itulah yang disebut fiqhil. Kedua, tentang cara, usaha, dan ketentuan dalam menghasilkan materi fiqhi tersebut, inilah yang disebut ushul fiqhi.
Dengan kita mempelajari ilmu fiqhi dan ushul fiqhi, maka dengan demikian kita dapat mengetahui hukum-hukum yang setiap saat terjadi dakalangan masyarakat kita sekarang ini. Dan salah satu tujuan ushul fiqhi tidak lain kecuali untuk menetapkan atau menemukan nash yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dewasa ini sangat banyak kita jumpai persoalan-persoalan atau masalah-masalah yang sudah tidak sesuai dengan zaman. Untuk itu, dengan adanya ilmu fiqhi dan ushul fiqhi, dapat membantu kita untuk mempermudah masalah mukum terutama hukum islam.
B. Rumusan Masalah
1. Kemukakan pengertian dan ruang lingkup ushul fiqhi?
2. Apa tujuan pokok disyriatkannya hukum islam?
3. Kemukakan hukum-hukum syariat?
4. Sebutkan lima hukum dalam istilah fiqhi?


BAB II
PENGRTIAN DAN RUANG LINGKUP USHUL FIQHI

A. Pengertian Ushul Fiqhi
Kata ”fiqhi” secara etimologi berati paham yang mendalam. Sedangkan kata “ushul”Yang merupakan jamak darikata “ashal” (اصل) secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya. Dengan demikian “ushul fiqhi” berarti :” ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci”. Atau dalam artian lain adalah: “kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.
Misalnya dalam kitab-kitab fiqhi ditemuka ungkapan, mengerjakan sholat itu hukumnya wajib. Wajibnya mengerjakan sholat disebut “hukum syara”. Tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits bahwa sholat itu hukunya wajib. Yang tersebut dalam al-Qur’an hanyalah mengerjakan sholat yang berbunyi:
( اقيموا الصلاة ) yang artinya “dirikanlah sholat”.
Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan sholat itu disebut “dalil syara’”. Untuk merumuskan kewajiban sholat yang disebut “hukum syara’” dari firman Allah (اقيموا الصلاة) yang disebut “dalil syara’” itu ada aturanya dalam kaidah. Umpanya setiap perintah itu menunjukan wajib. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ilmu ushul fiqhi”.
B. Objek kajian ushul fiqhi dan fiqhi
a. Objek kajian ushul fiqhi
Adapun yang menjadi objek pembahasan ushul fiqhi adalah dalil – dalil syara’ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali. Ulama sepakat bahwa al-Qur’an adalah dalil syara’ yang pertama. Gambaran Al-Qur’an kepada hukum tidak hanya mengunakan satu kalimat tertentu, akan tetapi beragam bentuknya, seperti: kalimat perintah (shighat amr), kalimat larangan (shighat nahy), kalimat yang bersifat umum, mutlak, dan sebagainya. Ketika pembahasan mereka dapat menemukan bahwa shighat (bentuk) amr (perintah) itu mengandung makna pegwajiban (al-ijab), shighat nahy (larangan) mengandung makna pengharaman (al-tahrim), sighat am (umum) mengadug makna tercakupnya seluruh satuan yan terdapat dalam pengartian umum itu secara pasti, dan shighat ithlaq (mutlak) mengandung makna pengertian tetapnya hukum secara mutlak, maka mereka menciptakan kaidah-kaidah sebagai berikut :
 Perintah itu untuk mewajibkan الا مر للا بجاب ))
 Larangan itu untuk mengharamkan (النهى للتحريم )
 Lafaz umum itu mencangkup seluruh satuannya (العام ينتظيم جميع اضراده قطعا)
 Lafaz mutlak itu mengacu kepada satuan secara umum tanpa terkait (المطلق يدل على جميع اضراده بلا قيد )

Dalam versi lain, sebagian ushul fiqhi mengatakan bahwa objek pembahasan ilmu ushul fiqhi kembali pada memetapkan dalil-dalil untuk hukum-hukum (اثبات الادلة للآ حكام) dan tetapnya hukum-hukum berdasarkan dalil-dalil ( ثبوت الادلة بالا حكام ). Untuk melengkapi persepsi tentang pembicaraa ini dapat dilihat dalam firman Allah swt yakni: (فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ) artinya:
” Maka merdekakanlah olehmu seorang budak”.
Adalah dalil tentang wajibnya memerdekakan budak dari orang yang muzhihar istrinya, tetapi bermaksud rujuk. Kalimat raqabah dalam ayat itu berarti seorang budak secara mutlak tanpa mengaitkannya dengan sesuatu sifat tertentu, sehingga mukallaf yang dituju oleh perintah itu bebes memilih seorang budak; Muslim atau bukan. Dengan memahami keterangan diatas,ada ulama yang lebih memerinci lagi objek pembahasan ilmu ushul fiqhi ini kepada pembahasan tentang dalil,hukum, kaidah-kaidah, dan ijtihat.
b. Objek kajian fiqhi
Yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqi ialah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’ . Perbuatan tersebut dikelompokan dalam taga kelompak yaitu: ibadah, mu’amalah, dan uqabah
Ibadah mencangkup segala persoalan yang menyangkut dengan akhirat. Dan mu’amalah mencangkup hal yang berhubungan dengan sewa-menyewa, jual beli, pinjam meminjam, amanah dan harta pninggalan, serta termasuk didalamnya munakahat dan siyasah. Sedangkan uqabah mencangkup segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana.

C. Manfaat mempelajari ushul fiqhi
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqhi yang dirumuskan oleh ulama terdahulu,maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang belum ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqhi terdahulu,maka kita akan cari jawabanya dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah masalah hukum fiqhi yang terurai dalam kitab fiqhi, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapanya diakibatkan oleh perubahan zaman, dan ingin merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya kaidah baru dalam fiqhi. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama kontemporer dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ilmu ushul fiqhi.
D. Maqasid Al- Syariah
Maqasid Al- Syariah berarti tujuan Allah dan Rosulnya dalam memutuskan hukum islam. Sementara menurut Wahba Al-Zuhili Maqasid Al- Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukmnya. Dan adapun 5 pokok tujuan islam yaitu:
1. Untuk memelihara agama
2. Untuk memelihara jiwa
3. Untuk memelihara akal
4. Untuk memelihara keturunan, nasab, dan kehormatan
5. Untuk memelihara harta benda


BAB III
TUJUAN POKOK DISYARIATKANYA HUKUM ISLAM
A. Dharuriyat
Dharuriyat ialah segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia harus ada demi kemaslahatan meraka. Hal itu tersimpul kepada lima sendi utama: yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatanya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
B. Hajiyat
Hajiat ialah segala sesuatu yang sangt dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya, ketiadaan aspek hajiat ini tidak akan sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja. Prinsip utama dalam aspek hajiaat ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mereka.
C. Tahsiniyah
Tahsiniyah ialah tindakan atau sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan Al-Mukarim Al-Ahlak, serta pemeliharaan tindakan- tindakan utama dalam bidang ibadah,adat, dan muamalah. Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan seperti tidak terwujud dalam aspek dharuriyat.
Aspek tahsiniyah dalam aspek ibadah ialah kewajiban membersihkan diri dari najis,menutup aurat, berhias bila hendak ke mesjid, dan melakukan amal-amal sunnah dan sedekah.
1. Sekitar pengertian ijtihad
Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata jahada (جهد ) yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata “ijtihad” dipakai mengikuti wazan Ifti’al ( افتعال ) yang “berarti bersngkutan dalam pekerjaan”. Dengan demikian, kata ” jihad” ( جهد) dan “ijtihad” ( اجتهاد) berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata ijtihad bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedangkan kata jihadbergera dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.
Ulama ushuliyin mengartikan ijtihad dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam mengistinbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperici.
a. Dasar hukum ijtihad
Firman Allah swt:
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.



Hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a mengenai ijtihad.

اَلْحَاكِمُ اِذَا اجْتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِنِ جْتَهَدَ فَاَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ. (رواه بخارى و مسلم)

Artinya:
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

b. Fungsi ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran.
c. Lapangan ijtihad
Pada prinsibnya, ijtihad adalah manifestasi pemikiran kefilsafatan. Ijtihad juga bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian.
d. Syarat-syarat ijtihad
1. Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. yaitu harus paham ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk didalamnya harus mengetahui Asbab al-Nuzul (latar belakang turunnya al-Qur’an), Nasikh Mansukh (ayat yang mengganti atau yang di ganti), Mujmal Mubayyan (kalimat yang global dan yang parsial), al-’Am wa al-Khash (kalimat yang umum dan yang khusus), Muhkam Mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samar), dan sebagainya.
2. Memiliki ilmu yang luas tentang Hadits Nabi Muhammad SAW, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti Asbab al-Wurud (latar belakang munculnya Hadits) dan Rijal al-Hadits (sejarah para perawi Hadits)
3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama (‘Ijma)
4. Memahami Qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum
5. Menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu Nahwu, Sharf, Balaghah dan lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara memproduksi hukum)
6. Memahami serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan hukum Islam adalah rahmah li al-alamin, yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyyat (primer atau pokok), hajiyyat (sekunder atau pelengkap), dan tahsiniyyah (tersier atau keindahan)
7. Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum.









BAB IV
HUKUM-HUKUM SYARIAT
A. Pembahasan hukum dalam ilmu ushul fiqhi ada Empat, sebagai berikut:
1. Hakim
Hakim yaitu orang yang menjatuhkan keputusan.
2. Hukum
Hukum yaitu keputusan yang dikeluarkan oleh Hakim.
3. Mahkum Faih
Mahkum Faih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum.
4. Mahkum Alaih
Mahkum Alaih yaitu mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang bersangkutan dengan hukum.
B. Hukum Syara’
Hukum syara’ menurut istilah Ulama Ushul, ialah doktrin (khitab) syara’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (Taqrir) sebagaimana firman Allah swt:
اَوْفُوْا بِا لعُقُوْدِ Artinya:”penuhilah janji”. Adalah kitab syari’ yang bersangkutan dengan memenuhi janji yang dituntut untuk mangerjakannya. Adapun hukum syara’ menurut Ulama Fiqhi ialah, efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan, seperti wajib, haram dan mubah. sebagaimana firman Allah swt:
اَوْفُوْا بِا لعُقُوْدِ Artinya:”penuhilah janji”.
Dari definisi hukum syara’ menurut istilah Ulama Ushul, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu ada kalanya bersangkutan dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau dari segi diperintah memilih atau dari segi ketetapanya.
C. Lima jenis hukun dalam istilah fiqhiاحكام الخمسة) (
1. Taqliq
Menurut bahasa ialah mengulangi, meniru, mengikuti. Sedangkan menurut istilah ialah penerimaan perkataan seseorang, sedangkan anda tidak mengetahui dari mana asal kata itu.
2. Ittiba’
Yang berarti menurut atau mengikuti. Ittiba’ ialah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rosul saw.
3. Talfiq
Berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Artinya mengambil atau mengikuti hujum dari satu peristiwa,atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab.
4. Qaul Qadim
Ialah fatwah atau pendapat imam syafi’I ketika berada di Iraq, pda zaman Khalifah Harun Ar-Rawyid.
5. Qaul Jadid
Ialah fatwah atau pendapat imam syafi’I setelah berpindahnya ke Mesir.


D. Pembagian hukum wadh’i ( positif ) yaitu:
1. Sebeb 4. Rukhsah
2. Syarat 5. Azimah
3. penghalang (mani’)

E. sumber hukum dan dalil hukum dalam islam
Dalam bahasa Arab istilah sumber hukum Islam mempunyai beberapa penyebutan, diantaranya adalah أصول الأحكام ushul al-ahkam (dasar hukum),مصادر الأحكام mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) dan دليل dalil, ketiganya memiliki makna yang hampir sama (muradif). Kata “Sumber-sumber hukum Islam” merupakan terjemah dari lafadz مصادر الأحكام (mashadir al-ahkam). Istilah ini kurang populer di kalangan ulama fiqh klasik, mereka lebih sering menggunakan istilah dalil-dalil syariat الأدلة الشرعيةl (Al-adilah asy-syar'iyyah). Kata "sumber hukum" hanya berlaku pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah, sedangkan "dalil-dalil hukum" adalah merupakan alat (metode) dalam menggali hukum-hukum dari kedua sumber hukum Islam.
Sedangkan الدليل (Ad-dalil ) merupakan petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu. Kata dalil adalah kata dalam bentuk tunggal (mufrad) الدليل (al-dalil) bentuk jama'nya adalah الأدلة (Al-adilah). Dalil menurut bahasa adalah :
االهادي إلى أي شيء حسي أو معنوي
“Petunjuk jalan kepada segala sesuatu baik yang sifatnya real/nyata atau bersifat maknawi/abstrak”.
Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan (ijma')para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits, hal ini sebagaimana yang termaktub dalam QS Al-Nisaa ayat 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.( QS Al-Nisaa ayat: 59).
Sedangkan hadist Nabi yang menunjukan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah sumber hukum Islam adalah riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Artinya:
“Dari Miqdam bin Ma'di Kariba Al-Kindy dia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah) ketahuilah sungguh telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah). (H.R Ahmad) no. 16546.

a. Pengertian Qiyas
Secara etimologi, kata “qiyas” berarti ( قدر ) artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sedangkan menurut terminologi terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantaranya adalah, menurut Shadru Al-Syari’ah mengatakan bahwa:
تَعْدِيَةُ حُكْمٍ مِنَ اْلآَصْلِ اِلَى اْلَفرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَا تُعْرَفُ بِمُجَرَّ دِفَهْمِ اللُّغَةِ
“Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena ada kesatuan illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughawi semata”.

Dalam Syarah Al-Waraqat disebutkan bahwa qiyas adalah “Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok) dengan sebab adanya illat yang sama”.
b. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun yaitu:
1. Ashl
Ashl merupakan masalah yang ditetapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah,yaitu wadah yang terdapat padanya hukum untuk disamakan dengan yang lain. Disamping itu, ada yang menyebutnya dalil Al-hukum.
2. Hukum Ashl
Hukum Ashl adalah hukum syara’terdapat pada ashl yang ditetapkan nash atau ijma, yang handak diberlakukan pada furu’dengan cara qiyas.

3. Furu’
Furu’ atau cabang adalah suatu masalah yang tidak ada ketegasan hukumya dalam Al-Qur’an, sunnah dan ijma’yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.
4. Illat
Secara bahasa adalah sesuatu yang bisa merubah keadaan.
c. Contoh penerapan qiyas dalam masalah minuman keras dan narkotika.
Allah mengharamkan khamar dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamar, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamar. Karena sebab atau alasan pengharaman khamar yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamar.
Keharaman narkotika yang ditetapkan melalui qiyas terhadap ketentuan keharaman khamar dalam surah Al-Maidah ayat:90
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٩٠﴾
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.(Q.S. Al-Maidah: 90)


BAB V
METODE IJTIHAD

A. Mashlahah Mursalah ( المصلحة المرسلة )
1. Pengertian
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu “Mashlahah” ( المصلحة ) dan “Mursalah” ( المرسلة ) yang berhubungan keduanya dalam bentuk sifat- mausufh, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkn bahwa ia bagian dari Al-mashlahah. Mashlahah (مصلحة ) berasal dari kata “salahah” ) ( صلح dengan penambahan alif diawalnya yang secara arti katab”baik” ia asalah masdar dengan bdengan arti kata “shalahan” صلاح )), yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian mashlahah dalam bajhasa Arab yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artian umum yaitu segala sesuatu yang bermanfat bagi manusia.
“Mursalah” (مرسلة ) adalah isim maf’ul (objek) dari fiil madhi yaitu “rasala” (رسل ) dengan penambahan alif pada awalnya sihingga menjadi “arsala”( ارسل ). Seara etimologis berarti terlepas. Maksudnya ialah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukan bolehnya dilakukan. Adpun definisi mashlahah mursalah menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustasyfa merumuskan mashlahah mursalah sebagai berikut:
مَالَمْ يَشْهَدْلَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْبُطْلَانِ وَلَا بِا ْلإِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
“Apa-apa mashlahah yang tidak ada bukti baginya dari syara’dalam bentuk nash tertentu yang membatalkanya dan tidak ada yang memerhatikanya”.
Dari definisi diatas maka kita dapat menarik kesinpulan bahwa mashlahah mursalah ialah “sesuatu yang baik menurut akal, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum”.
2. UU di Indonesiayang bersumber dari kaidah mashlahah mursalah
pada peraturan UU lalu lintas yaitu pada peraturan UU lalu lintas.
B. Syar’u Man Qablana
Para ulama menjelaskan bahwa syriat sebekum kita atau syar’u man qablana (شرع من قبلنا ) ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oen para Nabi dan Rosul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad saw.
Adapun contoh syariat umat terdahulu yang masih dilestarikan dalam syariat islam (syariat Nabi Muhammad saw) ialah, sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits disyariatkan untuk umat terdahulu dan dinyatakan pula berkaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya yakni: dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾
Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah:183)
Dalam ayat ini, dijeskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad saw. Contoh yang kedua dalam hadits Rosul saw ialah:
ضَحُّوْا فَإِنَّهَا سُنَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَهِيْمَ
Artinya:
“ Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu,Ibrahim”.

C. Saddu Al-Zari’ah
Secara etimologi Al-Zari’ah ialah itu berarti:
الَوسِيْلَةُ الَّتِى يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى الشَّيْئِ سَوَاءٌ كَاَن حَسِيًا اَوْ مَعْنَوِيًّا
“Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik baik atau buruk”.
Untuk menempatkanya dalam bahasa sesuia yang dituju, kata dzariah itu didahului dengan saddu (سدّ) yang artinya menutup; maksudnya ialah menutup jalan terjadinya kerusakan. Dan perantara kepada sesuatu perbuatan yang dikenai hukum, maka ia disebut dzari’ah. Adapun contoh Saddu Al-Zari’ah ialah:
Sebanarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu dilarang. Ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang itu diantaranya ialah:




وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.(Q.S Al-An-am:108).
Cotoh yang kedua Saddu Al-Zari’ah ialah,sebanarnya menghentakan kaki itu boeh-bolehnsaja bagi perempuan, namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi itu dapat diketahi orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakan kaki itu dilarang.sebagaimana firman Allah swt:
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾
Artinya:
”Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.(Q.S. An-nur: 31).






BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ilmu ushul fiqhi”. Adapun yang menjadi objek pembahasan ushul fiqhi adalah dalil – dalil syara’ itu sendiri. Yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqi ialah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.
lima sendi utama: yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatanya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu ada kalanya bersangkutan dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau dari segi diperintah memilih atau dari segi ketetapanya. Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan (ijma')para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa, makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekeliruan yang terdapat pada makalah ini, oleh sebab itu penulis mengharapkan sumbangsi dari Bapak Dosen yang berupa kritikan halus atau saran sebagai masukan, demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin Amir, Ushul fiqhi jilid 2. Ed.1. cet. 5; xiv, 482 hlm,23 cm. Jakarta: Perpustakaan Nasional.Kencana 2009.
Syarifudin Amir, Ushul fiqhi 1. Ed.1. cet. 5; xii, 482 hlm,23 cm. Jakarta: Perpustakaan Nasional, Kencana 2009.
Kato Alaidin,Haji. Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqhi. Ed.1, cet.1. Jakarta: PT. Raja grafindo,2004.

ushul fiqhi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu syariah itu pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama, tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagian hidup didunia maupun diakhirat, maka itulah yang disebut fiqhil. Kedua, tentang cara, usaha, dan ketentuan dalam menghasilkan materi fiqhi tersebut, inilah yang disebut ushul fiqhi.
Dengan kita mempelajari ilmu fiqhi dan ushul fiqhi, maka dengan demikian kita dapat mengetahui hukum-hukum yang setiap saat terjadi dakalangan masyarakat kita sekarang ini. Dan salah satu tujuan ushul fiqhi tidak lain kecuali untuk menetapkan atau menemukan nash yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dewasa ini sangat banyak kita jumpai persoalan-persoalan atau masalah-masalah yang sudah tidak sesuai dengan zaman. Untuk itu, dengan adanya ilmu fiqhi dan ushul fiqhi, dapat membantu kita untuk mempermudah masalah mukum terutama hukum islam.
B. Rumusan Masalah
1. Kemukakan pengertian dan ruang lingkup ushul fiqhi?
2. Apa tujuan pokok disyriatkannya hukum islam?
3. Kemukakan hukum-hukum syariat?
4. Sebutkan lima hukum dalam istilah fiqhi?


BAB II
PENGRTIAN DAN RUANG LINGKUP USHUL FIQHI

A. Pengertian Ushul Fiqhi
Kata ”fiqhi” secara etimologi berati paham yang mendalam. Sedangkan kata “ushul”Yang merupakan jamak darikata “ashal” (اصل) secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya. Dengan demikian “ushul fiqhi” berarti :” ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci”. Atau dalam artian lain adalah: “kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.
Misalnya dalam kitab-kitab fiqhi ditemuka ungkapan, mengerjakan sholat itu hukumnya wajib. Wajibnya mengerjakan sholat disebut “hukum syara”. Tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits bahwa sholat itu hukunya wajib. Yang tersebut dalam al-Qur’an hanyalah mengerjakan sholat yang berbunyi:
( اقيموا الصلاة ) yang artinya “dirikanlah sholat”.
Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan sholat itu disebut “dalil syara’”. Untuk merumuskan kewajiban sholat yang disebut “hukum syara’” dari firman Allah (اقيموا الصلاة) yang disebut “dalil syara’” itu ada aturanya dalam kaidah. Umpanya setiap perintah itu menunjukan wajib. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ilmu ushul fiqhi”.
B. Objek kajian ushul fiqhi dan fiqhi
a. Objek kajian ushul fiqhi
Adapun yang menjadi objek pembahasan ushul fiqhi adalah dalil – dalil syara’ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali. Ulama sepakat bahwa al-Qur’an adalah dalil syara’ yang pertama. Gambaran Al-Qur’an kepada hukum tidak hanya mengunakan satu kalimat tertentu, akan tetapi beragam bentuknya, seperti: kalimat perintah (shighat amr), kalimat larangan (shighat nahy), kalimat yang bersifat umum, mutlak, dan sebagainya. Ketika pembahasan mereka dapat menemukan bahwa shighat (bentuk) amr (perintah) itu mengandung makna pegwajiban (al-ijab), shighat nahy (larangan) mengandung makna pengharaman (al-tahrim), sighat am (umum) mengadug makna tercakupnya seluruh satuan yan terdapat dalam pengartian umum itu secara pasti, dan shighat ithlaq (mutlak) mengandung makna pengertian tetapnya hukum secara mutlak, maka mereka menciptakan kaidah-kaidah sebagai berikut :
 Perintah itu untuk mewajibkan الا مر للا بجاب ))
 Larangan itu untuk mengharamkan (النهى للتحريم )
 Lafaz umum itu mencangkup seluruh satuannya (العام ينتظيم جميع اضراده قطعا)
 Lafaz mutlak itu mengacu kepada satuan secara umum tanpa terkait (المطلق يدل على جميع اضراده بلا قيد )

Dalam versi lain, sebagian ushul fiqhi mengatakan bahwa objek pembahasan ilmu ushul fiqhi kembali pada memetapkan dalil-dalil untuk hukum-hukum (اثبات الادلة للآ حكام) dan tetapnya hukum-hukum berdasarkan dalil-dalil ( ثبوت الادلة بالا حكام ). Untuk melengkapi persepsi tentang pembicaraa ini dapat dilihat dalam firman Allah swt yakni: (فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ) artinya:
” Maka merdekakanlah olehmu seorang budak”.
Adalah dalil tentang wajibnya memerdekakan budak dari orang yang muzhihar istrinya, tetapi bermaksud rujuk. Kalimat raqabah dalam ayat itu berarti seorang budak secara mutlak tanpa mengaitkannya dengan sesuatu sifat tertentu, sehingga mukallaf yang dituju oleh perintah itu bebes memilih seorang budak; Muslim atau bukan. Dengan memahami keterangan diatas,ada ulama yang lebih memerinci lagi objek pembahasan ilmu ushul fiqhi ini kepada pembahasan tentang dalil,hukum, kaidah-kaidah, dan ijtihat.
b. Objek kajian fiqhi
Yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqi ialah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’ . Perbuatan tersebut dikelompokan dalam taga kelompak yaitu: ibadah, mu’amalah, dan uqabah
Ibadah mencangkup segala persoalan yang menyangkut dengan akhirat. Dan mu’amalah mencangkup hal yang berhubungan dengan sewa-menyewa, jual beli, pinjam meminjam, amanah dan harta pninggalan, serta termasuk didalamnya munakahat dan siyasah. Sedangkan uqabah mencangkup segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana.

C. Manfaat mempelajari ushul fiqhi
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqhi yang dirumuskan oleh ulama terdahulu,maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang belum ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqhi terdahulu,maka kita akan cari jawabanya dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah masalah hukum fiqhi yang terurai dalam kitab fiqhi, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapanya diakibatkan oleh perubahan zaman, dan ingin merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya kaidah baru dalam fiqhi. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama kontemporer dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ilmu ushul fiqhi.
D. Maqasid Al- Syariah
Maqasid Al- Syariah berarti tujuan Allah dan Rosulnya dalam memutuskan hukum islam. Sementara menurut Wahba Al-Zuhili Maqasid Al- Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukmnya. Dan adapun 5 pokok tujuan islam yaitu:
1. Untuk memelihara agama
2. Untuk memelihara jiwa
3. Untuk memelihara akal
4. Untuk memelihara keturunan, nasab, dan kehormatan
5. Untuk memelihara harta benda


BAB III
TUJUAN POKOK DISYARIATKANYA HUKUM ISLAM
A. Dharuriyat
Dharuriyat ialah segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia harus ada demi kemaslahatan meraka. Hal itu tersimpul kepada lima sendi utama: yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatanya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
B. Hajiyat
Hajiat ialah segala sesuatu yang sangt dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya, ketiadaan aspek hajiat ini tidak akan sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja. Prinsip utama dalam aspek hajiaat ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mereka.
C. Tahsiniyah
Tahsiniyah ialah tindakan atau sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan Al-Mukarim Al-Ahlak, serta pemeliharaan tindakan- tindakan utama dalam bidang ibadah,adat, dan muamalah. Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan seperti tidak terwujud dalam aspek dharuriyat.
Aspek tahsiniyah dalam aspek ibadah ialah kewajiban membersihkan diri dari najis,menutup aurat, berhias bila hendak ke mesjid, dan melakukan amal-amal sunnah dan sedekah.
1. Sekitar pengertian ijtihad
Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata jahada (جهد ) yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata “ijtihad” dipakai mengikuti wazan Ifti’al ( افتعال ) yang “berarti bersngkutan dalam pekerjaan”. Dengan demikian, kata ” jihad” ( جهد) dan “ijtihad” ( اجتهاد) berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata ijtihad bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedangkan kata jihadbergera dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.
Ulama ushuliyin mengartikan ijtihad dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam mengistinbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperici.
a. Dasar hukum ijtihad
Firman Allah swt:
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.



Hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a mengenai ijtihad.

اَلْحَاكِمُ اِذَا اجْتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِنِ جْتَهَدَ فَاَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ. (رواه بخارى و مسلم)

Artinya:
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

b. Fungsi ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran.
c. Lapangan ijtihad
Pada prinsibnya, ijtihad adalah manifestasi pemikiran kefilsafatan. Ijtihad juga bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian.
d. Syarat-syarat ijtihad
1. Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. yaitu harus paham ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk didalamnya harus mengetahui Asbab al-Nuzul (latar belakang turunnya al-Qur’an), Nasikh Mansukh (ayat yang mengganti atau yang di ganti), Mujmal Mubayyan (kalimat yang global dan yang parsial), al-’Am wa al-Khash (kalimat yang umum dan yang khusus), Muhkam Mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samar), dan sebagainya.
2. Memiliki ilmu yang luas tentang Hadits Nabi Muhammad SAW, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti Asbab al-Wurud (latar belakang munculnya Hadits) dan Rijal al-Hadits (sejarah para perawi Hadits)
3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama (‘Ijma)
4. Memahami Qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum
5. Menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu Nahwu, Sharf, Balaghah dan lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara memproduksi hukum)
6. Memahami serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan hukum Islam adalah rahmah li al-alamin, yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyyat (primer atau pokok), hajiyyat (sekunder atau pelengkap), dan tahsiniyyah (tersier atau keindahan)
7. Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum.









BAB IV
HUKUM-HUKUM SYARIAT
A. Pembahasan hukum dalam ilmu ushul fiqhi ada Empat, sebagai berikut:
1. Hakim
Hakim yaitu orang yang menjatuhkan keputusan.
2. Hukum
Hukum yaitu keputusan yang dikeluarkan oleh Hakim.
3. Mahkum Faih
Mahkum Faih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum.
4. Mahkum Alaih
Mahkum Alaih yaitu mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang bersangkutan dengan hukum.
B. Hukum Syara’
Hukum syara’ menurut istilah Ulama Ushul, ialah doktrin (khitab) syara’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (Taqrir) sebagaimana firman Allah swt:
اَوْفُوْا بِا لعُقُوْدِ Artinya:”penuhilah janji”. Adalah kitab syari’ yang bersangkutan dengan memenuhi janji yang dituntut untuk mangerjakannya. Adapun hukum syara’ menurut Ulama Fiqhi ialah, efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan, seperti wajib, haram dan mubah. sebagaimana firman Allah swt:
اَوْفُوْا بِا لعُقُوْدِ Artinya:”penuhilah janji”.
Dari definisi hukum syara’ menurut istilah Ulama Ushul, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu ada kalanya bersangkutan dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau dari segi diperintah memilih atau dari segi ketetapanya.
C. Lima jenis hukun dalam istilah fiqhiاحكام الخمسة) (
1. Taqliq
Menurut bahasa ialah mengulangi, meniru, mengikuti. Sedangkan menurut istilah ialah penerimaan perkataan seseorang, sedangkan anda tidak mengetahui dari mana asal kata itu.
2. Ittiba’
Yang berarti menurut atau mengikuti. Ittiba’ ialah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rosul saw.
3. Talfiq
Berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Artinya mengambil atau mengikuti hujum dari satu peristiwa,atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab.
4. Qaul Qadim
Ialah fatwah atau pendapat imam syafi’I ketika berada di Iraq, pda zaman Khalifah Harun Ar-Rawyid.
5. Qaul Jadid
Ialah fatwah atau pendapat imam syafi’I setelah berpindahnya ke Mesir.


D. Pembagian hukum wadh’i ( positif ) yaitu:
1. Sebeb 4. Rukhsah
2. Syarat 5. Azimah
3. penghalang (mani’)

E. sumber hukum dan dalil hukum dalam islam
Dalam bahasa Arab istilah sumber hukum Islam mempunyai beberapa penyebutan, diantaranya adalah أصول الأحكام ushul al-ahkam (dasar hukum),مصادر الأحكام mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) dan دليل dalil, ketiganya memiliki makna yang hampir sama (muradif). Kata “Sumber-sumber hukum Islam” merupakan terjemah dari lafadz مصادر الأحكام (mashadir al-ahkam). Istilah ini kurang populer di kalangan ulama fiqh klasik, mereka lebih sering menggunakan istilah dalil-dalil syariat الأدلة الشرعيةl (Al-adilah asy-syar'iyyah). Kata "sumber hukum" hanya berlaku pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah, sedangkan "dalil-dalil hukum" adalah merupakan alat (metode) dalam menggali hukum-hukum dari kedua sumber hukum Islam.
Sedangkan الدليل (Ad-dalil ) merupakan petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu. Kata dalil adalah kata dalam bentuk tunggal (mufrad) الدليل (al-dalil) bentuk jama'nya adalah الأدلة (Al-adilah). Dalil menurut bahasa adalah :
االهادي إلى أي شيء حسي أو معنوي
“Petunjuk jalan kepada segala sesuatu baik yang sifatnya real/nyata atau bersifat maknawi/abstrak”.
Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan (ijma')para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits, hal ini sebagaimana yang termaktub dalam QS Al-Nisaa ayat 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.( QS Al-Nisaa ayat: 59).
Sedangkan hadist Nabi yang menunjukan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah sumber hukum Islam adalah riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Artinya:
“Dari Miqdam bin Ma'di Kariba Al-Kindy dia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah) ketahuilah sungguh telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah). (H.R Ahmad) no. 16546.

a. Pengertian Qiyas
Secara etimologi, kata “qiyas” berarti ( قدر ) artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sedangkan menurut terminologi terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantaranya adalah, menurut Shadru Al-Syari’ah mengatakan bahwa:
تَعْدِيَةُ حُكْمٍ مِنَ اْلآَصْلِ اِلَى اْلَفرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَا تُعْرَفُ بِمُجَرَّ دِفَهْمِ اللُّغَةِ
“Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena ada kesatuan illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughawi semata”.

Dalam Syarah Al-Waraqat disebutkan bahwa qiyas adalah “Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok) dengan sebab adanya illat yang sama”.
b. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun yaitu:
1. Ashl
Ashl merupakan masalah yang ditetapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah,yaitu wadah yang terdapat padanya hukum untuk disamakan dengan yang lain. Disamping itu, ada yang menyebutnya dalil Al-hukum.
2. Hukum Ashl
Hukum Ashl adalah hukum syara’terdapat pada ashl yang ditetapkan nash atau ijma, yang handak diberlakukan pada furu’dengan cara qiyas.

3. Furu’
Furu’ atau cabang adalah suatu masalah yang tidak ada ketegasan hukumya dalam Al-Qur’an, sunnah dan ijma’yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.
4. Illat
Secara bahasa adalah sesuatu yang bisa merubah keadaan.
c. Contoh penerapan qiyas dalam masalah minuman keras dan narkotika.
Allah mengharamkan khamar dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamar, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamar. Karena sebab atau alasan pengharaman khamar yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamar.
Keharaman narkotika yang ditetapkan melalui qiyas terhadap ketentuan keharaman khamar dalam surah Al-Maidah ayat:90
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٩٠﴾
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.(Q.S. Al-Maidah: 90)


BAB V
METODE IJTIHAD

A. Mashlahah Mursalah ( المصلحة المرسلة )
1. Pengertian
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu “Mashlahah” ( المصلحة ) dan “Mursalah” ( المرسلة ) yang berhubungan keduanya dalam bentuk sifat- mausufh, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkn bahwa ia bagian dari Al-mashlahah. Mashlahah (مصلحة ) berasal dari kata “salahah” ) ( صلح dengan penambahan alif diawalnya yang secara arti katab”baik” ia asalah masdar dengan bdengan arti kata “shalahan” صلاح )), yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian mashlahah dalam bajhasa Arab yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artian umum yaitu segala sesuatu yang bermanfat bagi manusia.
“Mursalah” (مرسلة ) adalah isim maf’ul (objek) dari fiil madhi yaitu “rasala” (رسل ) dengan penambahan alif pada awalnya sihingga menjadi “arsala”( ارسل ). Seara etimologis berarti terlepas. Maksudnya ialah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukan bolehnya dilakukan. Adpun definisi mashlahah mursalah menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustasyfa merumuskan mashlahah mursalah sebagai berikut:
مَالَمْ يَشْهَدْلَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْبُطْلَانِ وَلَا بِا ْلإِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
“Apa-apa mashlahah yang tidak ada bukti baginya dari syara’dalam bentuk nash tertentu yang membatalkanya dan tidak ada yang memerhatikanya”.
Dari definisi diatas maka kita dapat menarik kesinpulan bahwa mashlahah mursalah ialah “sesuatu yang baik menurut akal, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum”.
2. UU di Indonesiayang bersumber dari kaidah mashlahah mursalah
pada peraturan UU lalu lintas yaitu pada peraturan UU lalu lintas.
B. Syar’u Man Qablana
Para ulama menjelaskan bahwa syriat sebekum kita atau syar’u man qablana (شرع من قبلنا ) ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oen para Nabi dan Rosul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad saw.
Adapun contoh syariat umat terdahulu yang masih dilestarikan dalam syariat islam (syariat Nabi Muhammad saw) ialah, sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits disyariatkan untuk umat terdahulu dan dinyatakan pula berkaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya yakni: dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾
Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah:183)
Dalam ayat ini, dijeskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad saw. Contoh yang kedua dalam hadits Rosul saw ialah:
ضَحُّوْا فَإِنَّهَا سُنَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَهِيْمَ
Artinya:
“ Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu,Ibrahim”.

C. Saddu Al-Zari’ah
Secara etimologi Al-Zari’ah ialah itu berarti:
الَوسِيْلَةُ الَّتِى يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى الشَّيْئِ سَوَاءٌ كَاَن حَسِيًا اَوْ مَعْنَوِيًّا
“Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik baik atau buruk”.
Untuk menempatkanya dalam bahasa sesuia yang dituju, kata dzariah itu didahului dengan saddu (سدّ) yang artinya menutup; maksudnya ialah menutup jalan terjadinya kerusakan. Dan perantara kepada sesuatu perbuatan yang dikenai hukum, maka ia disebut dzari’ah. Adapun contoh Saddu Al-Zari’ah ialah:
Sebanarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu dilarang. Ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang itu diantaranya ialah:




وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.(Q.S Al-An-am:108).
Cotoh yang kedua Saddu Al-Zari’ah ialah,sebanarnya menghentakan kaki itu boeh-bolehnsaja bagi perempuan, namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi itu dapat diketahi orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakan kaki itu dilarang.sebagaimana firman Allah swt:
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾
Artinya:
”Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.(Q.S. An-nur: 31).






BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ilmu ushul fiqhi”. Adapun yang menjadi objek pembahasan ushul fiqhi adalah dalil – dalil syara’ itu sendiri. Yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqi ialah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.
lima sendi utama: yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatanya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu ada kalanya bersangkutan dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau dari segi diperintah memilih atau dari segi ketetapanya. Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan (ijma')para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa, makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekeliruan yang terdapat pada makalah ini, oleh sebab itu penulis mengharapkan sumbangsi dari Bapak Dosen yang berupa kritikan halus atau saran sebagai masukan, demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin Amir, Ushul fiqhi jilid 2. Ed.1. cet. 5; xiv, 482 hlm,23 cm. Jakarta: Perpustakaan Nasional.Kencana 2009.
Syarifudin Amir, Ushul fiqhi 1. Ed.1. cet. 5; xii, 482 hlm,23 cm. Jakarta: Perpustakaan Nasional, Kencana 2009.
Kato Alaidin,Haji. Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqhi. Ed.1, cet.1. Jakarta: PT. Raja grafindo,2004.

Selasa, 27 Desember 2011

ashabah dan pembagiannya

Resume
ASHABAH DAN PEMBAGIANNYA



DISUSUN OLEH:
irfandi

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) DATOKARAMA PALU

2010



ASHABAH DAN PEMBAGIANYA


1. Macam-macam ashabah
Sebab-sebab seseorang menjadi ahli waris ada tiga yaitu :
a. Karena perkawinan
b. Karena hubungan nasab
c. Karena membebaskan hamba
Sedangkan sebab-sebab seseorang menjadi ahli waris ashabah hanya dua yaitu:
a. Ashabah sababiyah
b. Ashbah nasabiyah
Ashabah nasabiah ialah seseorang menjadi ahli waris ashabah karena mempunyai nasab dengan orang yang meninggal dunia. Selanjutnya ashabah nasabiah di bagi menjadi tiga macam yaitu :
a. Ashabah binafsi (dengan sendirinya)
b. Ashabah bilghairi (bersama orang lain)
c. Ashabah maal ghairi (karena orang lain)

A. Ashabah binafsi
Ashabah binafsi yaitu ahli waris laki-laki yang dalam hubungan nasabnya dengan orang yang meninggal dunia tidak disalingi oleh perempuan. Ashabah binafsi bisa jadi samasekali tidak diselingi oleh perempuan, seperti anak dan ayah, dan bisa jadi diselingi oleh laki-laki seperti, kakek yang sampai hubungan nasabnya sampai dengan orang yang meninggal dunia diselingi oleh ayah, cucu laki-laki yang dalam hubungan nasabnya sampai dengan orang yang meninggal dunia diselingi oleh anak laki-laki.dan seperti saudara laki-laki sekandung atau seayah yang nasabnya sampai dengan simayit diselingi oleh ayah. Jika orang yang menjadi perantara tersebut perempuan, seperti ayahnya ibu dan saudara tunggal ibu, maka meraka bukanlah ashabah binafsi. Demikian juga yang bukan termasuk ashabah binafsi, kendatipun perantaranya adalah laki-laki,bila kerabat yang dipertalikan nasabnya dengan simayit adalah kerabat perempuan, seperti: anak laki-laki dari anak perempuan,dan saudara laki-laki seibu.Adapun kelompok-kelompok ashabah binafsi ialah :
a. Furu’ul mayyit (cabang)
Yakni, para ahli waris ashabah binafsi, yang arah hubungan nasabnya dengan simayit adalah arah lurus kebawah, yakni anak laki-laki, dan cucu laki-laki betapapun jauh menurunya. Tanpa diselingi oleh anak perempuan.
b. Ushulul mayyit (pokok)
Yakni, para ahli waris ashabah binafsi, yang arah hubungan nasabnya dengan simayit adalah arah lurus keatas, yakni ayah dan kakek sahih, betapapun jauh mendakinya. Tanpa diselingi oleh perempuan.

c. Al- Hawasyil (kerabat menyamping)
Yakni, para ahli waris ashabah binafsi, yang arah hubungan nasabnya dengan simayit adalah arah menyamping yang masih dekat, yakni saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, betapapun jauh atau rendah menurunya, tanpa diselingi oleh anak perempuan.

d. Al- Hawasyil ba’idah (kerabat menyamping yang jauh)

Yakni, para ahli waris ashabah binafsi, yang arah hubungan nasabnya dengan simayit adalah arah menyamping yang sudah jauh.yakni saudara laki-laki ayah, dan anak laki-laki,ayah dan anak laki-laki simayyid dan keturunan seterusnya kebawah betapa pun rendah menurunya. Kekek,paman shahih,anak laki-laki keturunan seterusnya kebawah sampai betapa pun jauh menurunya. tanpa diselingi oleh anak perempuan.
Apabila dalam suatu pembagian harta peningalan terdapat beberapa orang ahli waris ashabah binafsi yang satu arah, maka didahulukan ahli waris ashabah binafsi yang lebih dekat tingkat hubungan nasabnya kapada simayyid. Jika dalam pembagian harta peninggalan terdapat nak laki-laki dan cucu laki-laki maka yang didahulukan ialah anak laki-laki. Dan apabila suatu pembagian harta peninggalan terdapat beberapa orang ahli waris ashabah binafsi yang sama-sama satu arah,satu tingkat, dan sama-sama pula kekuatan hubungan nasabnya dengan simayyit,maka harta peninggalan dibagi kepada mereka dan masing-masing memperoleh bagian yang sama. Sebagaimana Rasul saw bersabda :
“Serahkanlah bagian-bagian harta peninggalan kepada orang-orang yang berhak. Kemudian sisanya adalah untuk orang laki-laki yang terdekat (hubungan nasabnya dengan orang yang meninggal dunia)”. (HR. Bukhari dan muslim dari ibnu abbas).

B. Ashabah bil ghairi

Ashabah bil ghairi yaitu setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu yang membutuhkan ahli waris lain untuk menjadi ashabah bersama-sama denganya dalam suatu pembagian harta peninggalan.Ashabah bil ghairi itu ada 4 orang wanita yang fardh mereka ½ bila tunggal, dan 2/3 bila lebih dari seorang. Mereka itu adalah : anak perempun kandung,cucu perempuan pancar laki-laki, saudari sekandung, dan saudari tunggal ayah. Bila tidak dengan jalan ashabah bil ghairi ini, cucu perempuan tidak memperoleh bagian harta peninggalan. Adapun syarat-syarat orang perempuan menjadi Ashabah bil ghairi ialah :
a. Perempun tersebut hendaknya tergolong ahli waris ashabul furudh. Orang perempuna yang tidak tergolong ashabul furudh, walaupun ia mewarisi bersama dengan muassibnya ia tidak dapat menjadi Ashabah bil ghairi. Misalnya, ammah (saudarinya ayah) sekandung tidak menjadi Ashabah bil ghairi, demikian juga halnya anak perempuan, paman sekandung tidak dapat menjadi Ashabah bil ghairi. karena bersama-sama dengan anak laki-lakinya saudara sekandung.
b. Adanya persamaan derajat,antara orang perempuan ashabul furudh dengan muashibnnya. Oleh karena itu cucu perempuan pancar laki-laki bila ia bersama-sama mewarisi dengan anak laki-laki, tidak dapat menjadi asha bil ghairi.
c. Adanya persamaan kekuatan kerabat, antara perempuan ashabul furudh dengan muashibnnya. Oleh karena itu, saudari kandung bila bersama dengan saudara seayah, tidak dapat menjadi ashabah bil ghairi. Terkecuali cucu perempuan pancar laki-laki dapat menjadi ashabah bil ghair dengan cucu laki-laki pancar laki-laki yang lebih rendah derajatnya.

C. Ashabah Ma’al-Ghairi
Ashabah ma’al ghairi yaitu, setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu yang membutuhkan ahli waris lain untuk menjadi ashabah.Tetapi ahli waris yang dibutuhkan itu tidak bersama-sama denganya menjadi ashabah.Ashabah ma’al ghairi itu hanya terdiri dari 2 orang perempuan dari ahli waris ashabul furudh. Yaitu :
a. Saudari kandung
b. Saudari tunggal ayah
Kedua orang tersebut dapat menjadi ashabah ma’al ghairi dengan syarat-syarat:
a. Berdampingan dengan seorang atau beberapa orang anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki pabila tidak bersama dengan saudara laki-laki kandung .
b. Saudara perempuan seayah menjadi ashabah ma’al ghair ketika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan pabila tidak bersama dengan saudara laki-laki seayah.
Dasar hukum ashabah ma’al ghair
Diriwayatkan oleh Hudzail bin Syarahbil yang menjelaskan putusan Ibnu Mas’ud r.a.dikala dikonprontasikan dengan pendapat Abu Musa dalam masalah seorang mati meninggalkan anak perempuan, cucu perempun pancar laki-laki, dan saudari. Kata Ibnu Mas’ud r.a. :
“ Aku putuskan masalah itu sesuia dengan putusan Nabi Muhammad s.a.w. Untuk anak perempuan separuh, untuk cucu perempun pancar laki-laki seperenam sebagai pelengkap dua pertiga dan sisanya untuk saudari.” (H.R. Al-jama’ah ahli hadits selain Muslim dan an-Nasaiy).



Perbedaan antara ashabah bil ghairi dengan ashabah ma’al ghair
Dari segi mu’ashibnya
mu’ashib ashabah bil ghair ialah para ashabah binnafsi, seperti anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan saudara kandung atau seayah.Sedangkan mu’ashib ashabah ma’al ghair ialah perempuan-perempuan ahli waris ashaul furudh. Seperti anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki.
Dari segi penerimaan pusaka
Pada ashabah bil ghair baik yang diashabahkan maupun muashibnya bersama-sama menerima ashabah dari ashabul furudh. Atau seluruh harta peninggalan bila seluruh ahli waris hanya ashabah saja, dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali lipat dari perempuan. Sedangkan pada ashabah ma’al ghair mu’ashibnya tidak turut menerima ashabah.Ia hanya diminta untuk mengasabahkan saja. Selesai tugasnya ia menduduki fungsinya semula sebagai ashabul furudh.

D. Ashabah sababiyah
Ashabah sababiyah yaitu,seseorang yang mejadi ahli waris ashabah karena memerdekakan orang yang meninggal dunia yang semulanya adalah ha

kemahiran dalam bahasa arab

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Kemahiran dalam Bahasa Arab
kemahiran berbahasa meliputi beberapa komponen,diantaranya yaitu kemahiran mendengar, ,membaca.
1.             Kemahiran mendengar
           Menerima mesej/mendengar mesej yang disampaikan oleh penyampai dan memahaminya.
Menurut kajian , 45% dari masa berkomunikasi pengurus adalah masa untuk mendengar, 30% untuk bercakap, 16% untuk menulis dan 9% untuk membaca. Ini menunjukkan bahawa mendengar adalah satu bahagian yang amat penting dalam kehidupan.
Pertama yang perlu dikuasai oleh pelajar ialah kemahiran mendengar,sebab kemahiran mendengar merupakan kompunen kemahiran berbahasa yang pertama dikuasai oleh seorang pelajar terutama pada kana-kanak.Dan adapun penguasaan komponen bahasa yang lain seperti bertutur,membaca dan menulis tergantung pada kemahiran mendengar.Untuk itu kemahiran mendengar harus di beri penekanan dalam proses belajar mengajar.karena ia merupakan asas pada kemahiran bertutur,membaca dan menulis.Wolff mSenyatakan bahwa kemahiran mendengar perlu dilatih dengan sebaik-baiknya,karena kemahiran mendengar mempunyai daya kekuatan yang akan menjadikan ilmu pengetahuan dan kemahiran berbahasa yang lain.
            Konsep Kemahiran Mendengar dalam pembelajaran bahasa ialah mendengar secara aktif terhadap apa yang di pelajari serta berusaha memahami sebutan dan maknanya dengan jelas. Proses pemahaman di kalangan kanak-kanak bermula daripada kemahiran mendengar pertuturan orang di sekitarnya. Kemudian bahasa itu akan mereka kuasai secara beransur-ansur dan seterusnya.Dalam pengajaran bahasa Arab, kemahiran mendengar ini amat penting.Dengan kemahiran mendengar, pelajar dapat memahami sesuatu yang didengar dengar betul dan jelas.Kemampuan mendengar yang baik akan sangat membantu seorang pelajar atau anak-anak dalam hal apasaja. Dengan didukung oleh aspek penggunaan alat bantu mengajar,kemahiran ini akan lebih berkesan dan afektif jika alat seperti pita rakaman,slide video, persembahan powerpoint dan lain-lain digunakan.Melalui alat bantu ini, isi pengajaran seperti sebutan huruf, cara pengucapan kalimah,makhraj huruf dan sebagainya dapat disampaikan dengan berbagai variasi.Suasana ini akan menarik perhatian serta minat pelajar untuk terus mengikuti dan menguasainya dengan mudah tanpa ada rasa malas dan jenu.
            Mendengar bukan merupakan satu mata pelajaran khas seperti pelajaran membaca dan menulis. Namun demikian,pelajar menggunakan alat pendengar secara aktif kerana mereka sentiasa berhubung dengan rakan-rakan di sekolah. Untuk menjadi pendengar yang baik, perlakuan dan sikap yang baik juga penting. Kita perlu mengetahui kekurangan keupayaan kita mendengar agar kita dapat mengetahui kekurangan dan dapat memperbaiki kekurangan tersebut.
Mendengar sekurang-kurangnya melibatkan tiga perkara yaitu:
Ø  Mendengar .
Ø  Memahami.
Ø  Menilai
Mendengar
Mendengar bermakna memberikan perhatian kepada perkara yang disampaikan oleh penutur. Sebagai contoh,kita kita mendengar laporan tentang kuda belang dan pelajar memaklumkan bahawa setiap kuda belang adalah tidak sama. Jika kita dapat menyatakan fakta itu semula bermaksud kita telah pun mendengar apa yang disampaikan.


memahami
Memahami Bahagian berikutnya yang berlaku selepas mendengar ialah kita mengambil perkara yang telah kita dengari dan memahami dengan cara kita sendiri. Sebagai contoh, setiap kuda belang adalah tidak sama. Kita mungkin berfikir bahawa ia adalah merujuk kepada corak belang yang terdapat pada setiap kuda tersebut.
Menilai
Setelah kita memahami perkara yang disampaikan oleh penutur,kita mula memikirkan sama ada kita hanya menerimanya tanpa berfikir. Dengan maksud lain. Kita membuat penilaian terhadap perkara yang kita dengar.
B.     KONSEP MENDENGAR
Mendengar merupakan kemasukan input bahasa atau bukan bahasa melalui alat pendengaran manusia,yaitu telinga. Kemasukan input bahasa adalah penyerapan makna ayat dan ujaran seterusnya dilakukan oleh otak untuk diproses. Mendengar membantu pendengar untuk memahami fakta dan idea yang diujarkan oleh penutur.
C.    PROSES MENDENGAR
Proses mendengar boleh dibahagikan kepada empat peringkat:
a). Mendengar deretan bunyi bahasa adalah Individu mendengar bunyi dari unsur- unsur luar yang sengaja dihasilkan dengan maksud tertentu. Bunyi itu dapat
didengar setelah ia dapat dikesan dari mana arah datangnya. Pada peringkat
permulaan mendengar, hanya bunyi-bunyi yang jelas dan lantang sahaja yang
dapat dikesan. Setelah mendegnar beberapa kali, barulah deretan bunyi itu
didengar secara total. Proses ini hanya ditujukan kepada individu yang mempunyai alat artikulasi dan pancaindera dengar yang normal.
b). Sesuatu bunyi yang didengar itu dikaitkan dengan maksud tertentu. Apabila deretan bunyi didengarkan dan diikuti dengan tingkah laku tertentu dari penutur,
pendengar akan berhubungkaitkan tingkah laku tersebut dengan deretan bunyi
tersebut. Dalam perkataan lain, pendengar akan menghubungkaitkan benda yang
dimaksudkan, atau tingkah laku yang dilakukann dengan bunyi yang dilafazkan.
Proses ini yang berukangkali dilakukan akan menjadi kebiasaan kepada pendengar.
c) Di peringkat ini pendengar menguasai makna beberapa deretan bunyi. Ia dapat memahami persamaan erti dan kelainan makna antara satu deretan bunyi dengan
deretan bunyi yang lain, antara satu rangkai kata dengan satu rangkai kata yang
lain dalam bahasa yang sama. Misalnya, bunyi yang menggunakan intonasi yang
tinggi lagi keras menandakan perasaan marah. Bunyi yang menggunakan intonasi
lemah melambangkan tanda manja, sedih, simpati dan sebagainya. Pendek kata,
pendengar yang baik akan faham dan mengerti maksud setiap ujuran yang
dilafazkan. Mereka bukan shaja boleh memaham malah boleh juga membuat
nterpretasi daripadanya.
d) Bertindak terhadap bunyi bermaksud peringkat ini hanya akan terlaksana setelah pendengar melalui ketiga-tiga peringkat tadi. Waktu pendengar akan membuat rumusan dan keputusan. Ia akan melakukan sesuatu setelah arahan dalam bentuk deretan bunyi bahasa dilafazkan.
D.    FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDENGARAN
Mendengar merupakan aktiviti rutin bagi semua manusia. Sama ada kita suka atau tidak, kita akan terus mendengar kerana alat peneriamaan manusia berfungsi tanpa had. Jester itu keupayaan mendengar bagi pelajar sekolah perlu dieksploitasikan sebaik mungkin agar mereka akan menguasai kemahiran mendengar.
Kemahiran mendengar hendaklah dilaksanakan bersama-sama kemahiran yang lain. Murid tidak diminta untuk mendengar sahaja sepanjang masa tanpa melakukan aktiviti yang berkaitan dengan bahan yang dipergengarkan. Kemahiran ini perlu dijalankan dan dihubungkan dengan kemahiran pengajaran,penumpuan dan peruntukan masa yang lebih banyak perlu diberikan pada aspek lisan. Namun begitu terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penguasaan kemahiran mendengar. Antaranya adalah:
Ø  Perubahan respon
Ø  Fikiran tertutup
Ø  Kebosanan

2.                  Kemahiran membaca
Goodman (1973) menyatakan membaca adalah proses psikolinguistik yang bermula daripada pembaca mengamati perkataan yang terdapat dalam teks yang dibaca sehingga terbentuklah makna berdasarkan pengamatan yang dilakukan.Kemahiran membaca merupakan salah satu komponen kemahiran bahasa yang penting dalam proses pengajaran dan pembelajaran bahasa. Kemahiran membaca adalah lanjutan daripada kemahiran-kemahiran asas seperti mendengar dan bertutur. Melalui pembacaan, seseorang itu mampu menimba ilmu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh menerusi pengalaman-pengalaman biasa yang lain. Membaca dapat membantu memperluas pemikiran dan ide serta meningkatkan daya kreatif seseorang individu dalam berbagai bidang. Membaca ialah proses kebalikan daripada proses menulis. Proses membaca memerlukan seseorang untuk menterjemahkan kembali lambang-lambang bertulis kepada lambang-lambang bunyi yang hendak disampaikan oleh penulisnya.
Membaca berbeda daripada mendengar kerana ia melibatkan kedua-dua aktiviti verbal secara serentak. Apabila kita membaca kita akan menguraikan bahan bercetak kepada pertuturan dan pada masa yang sama kita akan menguraikan pertuturan itu kepada pemikiran. Kebolehan membaca sangat penting dan ia merupakan satu ukuran kejayaan pelajar-pelajar di sekolah. Ini kerana kebolehan membaca dianggap sebagai asas untuk mencapai semua kejayaan dalam semua bidang, terutama dalam bidang pendidikan. Kemahiran membaca ditekankan pada peringkat awal bersama kemahiran lain seperti mengira dan menulis. Kebolehan membaca bukan saja dianggap sebagai asas utama bagi pencapaian kejayaan dalam bidang ekonomi dan sosial, malah sistem persekolahan itu sendiri menganggapnya peringkat yang lebih tinggi.Jenis peringkat membaca terdapat empat jenis peringkat membaca yaitu:
  • Bacaan mekanis (bersuara)
  • Bacaan mentalis / akaliah (kefahaman)
  • Bacaan intensif (mendalam) dan                                        
  • Bacaan ekstensif (meluas)
Tujuan membaca
 Tujuan membaca mekanis:
a)                  Membolehkan murid-murid membaca dengan cepat dan pantas dengan sebutan dan intonasi yang betul dan jelas.
b)                   Membolehkan murid-murid membaca dengan irama membaca yang betul.
c)                   Membolehkan murid-murid tahu menggunakan tanda-tanda baca serta tahu pula berhenti pada tempat berhenti yang betul.
d)                  Dapat menggunakan kemahiran membaca dalam mata-mata pelajaran yang lain.
e)                   Untuk membolehkan murid-murid mencapai kemahiran dan kecekapan untuk membaca bersuara.
 Tujuan membaca senyap:
a)    Melatih murid-murid supaya boleh membaca dengan sendir
b) Melatih murid-murid supaya boleh membaca dan memahami apa yang dibacanya.
c)    Melatih murid-murid membaca senyap dengan pantas.
d) Dapat menggunakan kemahiran membaca senyap untuk mendapatkan pengetahuan.
e) Dapat menggunakan kemahiran membaca senyap untuk hiburan.
Tujuan Bacaan Intensif
b)  Membolehkan kanak-kanak membaca dengan baik, betul dari segi sebutan, intonasi, lancar dan tahu menggunakan tanda-tanda bacaan dengan baik.
c)  Mengembangkan kebolehan mentafsir apa yang bertulis dalam bacaan itu dengan mengkaji susunan kata dalam ayat dan pengertian dalam kamus.
d)    Membaca secara senyap dengan kepantasan yang sewajarnya.
e)  Menilai atau mengulas isi-isi yang diperolehkan daripada bahan-bahan yang dibaca.
f)    terkesan, memahami dan menikmati unsur-unsur estetik dalam bahasa.
Tujuan Bacaan Ekstensif :
a) Membolehkan pelajar-pelajar membaca dengan cara tersendiri tanpa bimbingan secara langsung dari orang lain.
b) Membolehkan pelajar-pelajar membaca dengan fasih dalam bahasa yang mereka     pelajari.
c) Memperkaya bahasa dan perbendaharaan kata, struktur ayat dan lain-lain.
d) Menambah minat membaca
e) Mempertingkatkan mutu dan kepantasan membaca.
f) mengembangkan daya kreatif dalam penggunaan bahasa, baik dalam bentuk prosa  atau puisi.


3.         Kebaikan dan kelemahan mendengar dan membaca
Kebaikan mendengar dan membaca
1.      Metode ini mengajarkan kemampuan membaca anak didik dengn lancar dan fasih sekaligus kemampuan percakapan,dan banyak latihan-latihan dialok dan menulis (dikte)
2.      Siswa menyimak kesalahan bacaan dan percakapan dari guru atau teman sekelasnya,untuk kemudian di ubah dan di perbaiki letak-letak kesalahannya itu.
Kekuragan/kelemahan mendengar dan membaca
1.      Metode ini memerlukan kesungguhan dan kelebihan (profesional) dari pihak guru.Disamping perencanaan dan waktu harus matang.
2.      Pada tingkat-tingkat pemula (pertama) metode ini masih sulit diterapkan,terutama bagi anak-anak yang belum memiliki bekal (basic) bahasa asing yang cukup memadai,sebab itu perlu memotifasi anak didik secara komunikatif
3.      Kalau seri-seri pelajaran tidak disusun dan direncanakan sedemikian rupa,maka pelajaran dan penguasaan materi bagi siswa menjadi mengambang; misalnya materi pelajaran membaca diberikan sedikit,juga percakapan pu serba tanggung.oleh sebab itu,pengaturan waktu dan materi hemdaknya diatur sedemikian rupa,sehingga keduannya dikuasai.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kemahiran mendengar adalah asas dari pada kemahiran berbahasa yang lain.dan dalah satu persepsi orang ramai terhada kemahiran mendengar ialah bahwa kemahiran mendengar boleh dikuasai dari semula kita dilahirkan.persepsi negatif ini muncul dikalangan halayak ramai dengan sendirinya.Akan tetapi sebaliknya kemahiran mendengar harus dilatih khusus agar dapat memaksimalkan kekuatan kemahiran mendegar terutama dalam hal belajar mengajar.
Kemahiran membaca adalah lanjutan daripada kemahiran-kemahiran asas seperti mendengar dan bertutur, Melalui pembacaan, seseorang itu mampu menimba ilmu pengetahuan. Membaca dapat membantu memperluas pemikiran dan ide serta meningkatkan daya kreatif seseorang individu dalam berbagai bidang.
B.Saran
Tujuan kami kelompok II (dua ) membuat makalah yang berjudul”metode mendengar dan membacasudah barang tentu belum mendekati kesempurnaan.Oleh karena itu,kami kelompok II (dua) sangat mengharapkan kepada para pembaca terutama kepada Bapak/ Ibu Dosen agar dapat memberikan sungbangsi berupa kritikan dan saran yang halus demi untuk mencapai kesempurnaan makalah ini di masa mendatang.








DAFTAR PURTAKA

Dr.Ismail Abas,Fadzilah Mustafa,Abu Hisham Yusof ( 2007).“Pengenalan Pendidikan Islam”. Seri Kembangan : Meteor Doc.Sdn.Bhd.
Ustaz Wan Nordin bin Wan Abdullah (2007).“Pengenalan Pendidikan Bahasa Arab”. , Seri Kembangan : Meteor Doc.Sdn.Bh
Hanapian Sudin (1982),Pengajaran–Pembelajaran Lisan