Jumat, 13 Januari 2012

Proposal Sukma

Birokrasi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Artikel ini adalah bagian dari
seri Politik

Politik

• Daftar topik politik
• Politik menurut negara
• Politik menurut administrasi wilayah negara
• Ekonomi politik
• Sejarah politik
• Sejarah politik dunia
• Filsafat politik
• Ilmu politik
• Sistem politik
o Komunisme
o Negara kota
o Kediktatoran
o Direksional
o Feodalisme
o Kerajaan
o Parlementer
o Presidensial
o Semi-presidensial
• Hubungan internasional (Teori)
• Ilmuwan politik
• Politik perbandingan
• Administrasi publik
o Birokrasi (tingkat terendah)
o Adhockrasi
• Kebijakan publik
• Pemisahan kekuasaan
• Legislatif
• Eksekutif
• Yudikatif
• Kedaulatan
• Teori perilaku politik

Sub-rangkaian
• Pemilihan umum
Sistem elektoral
Pemungutan suara
• Federalisme
• Bentuk pemerintahan
• Ideologi
• Kampanye politik
• Partai-partai politik

Portal Politik

l • b • s

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.

[sunting] Berbagai definisi birokrat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh makan pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan
2. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected).
[sunting] Ciri-ciri Birokrasi
Ciri-ciri birokrasi menurut Max Weber adalah:
• Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkis. (Administratice offices are organized hierarchically)
• Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each office has its own area of competence)
• Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada kualifikasi teknik yang ditunjukan dengan ijazah atau ujian. (Civil
cervants are appointed, not electe, on the basis of technical qualifications as determined by diplomas or examination)
• Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau kedudukannya. (Civil servants receive fixed salaries according
to rank)
• Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya, pekerjaannya sebagai pegawai negeri. (The job is a career and the sole, or at least primary, employment of the civil servant)
• Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri. (The official does not own his or her office)
• Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan. (the official is subject to control and discipline)
• Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi rata-rata. (Promotion is based on superiors judgement)
Artikel bertopik manajemen ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.



Gambaran umum publik tentang birokrasi di Indonesia adalah prosedur panjang dan berliku, ruwet, pungutan liar, dan korupsi yang mengakar. Semua itu bukan hanya merusak citra negara, tapi juga menghambat pembangunan ekonomi.
Karena itu, tak ada jalan lain, reformasi birokrasi harus dipercepat agar pemerintah mampu melaksanakan kebijakan-kebijakan untuk rakyat secara terarah, rapi, bersih, efisien, dan efektif.
Periode sibuk menjelang Pemilu 2009 bukan berarti harus mengendurkan pembangunan dan menyelenggarakan pemerintahan yang baik, melainkan justru harus dijadikan momentum untuk membukan pintu lebar-lebar bagi terselenggaranya good governance.
Parpol dan figur yang akan bertarung memperebutkan simpati publik di Pemilu 2009 harus punya visi-misi yang jelas bagi reformasi birokrasi.
Dalam konteks itu, sepatutnya didukung upaya Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Departemen Keuangan menaikkan tunjangan dan pendapatan pegawai di suatu instansi yang berhasil membenahi instansinya.
Saat ini, Kementerian PAN telah menyiapkan standar pelaksanaan reformasi birokrasi. Semua instansi dan para pegawainya bisa menggunakan standar itu sebagai perangkat kerja untuk membenahi instansi.
Sampai saat ini, pemerintah baru menguji coba sistem penggajian baru berdasarkan kinerja di tiga instansi, yakni di Departemen Keuangan, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung.
Hingga kini, pemerintah masih mengevaluasi efektivitas kenaikan tunjangan PNS di tiga instansi itu sampai akhir tahun nanti.
Jika proyek uji coba itu berhasil, ada kemungkinan jumlah instansi penikmat remunerasi bertambah. Tapi, usul tambahan itu tergantung dari kemampuan tiap instansi pemerintah dalam membenahi instansinya.
"Indonesia memerlukan birokrat yang tangguh," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan sekaligus pelaksana tugas Menko Perekonomian.
Penegasan itu dikaitkan dengan krisis global yang dipicu melonjaknya harga minyak dan makanan yang juga menimpa negeri ini. Kondisi krisis niscaya memerlukan kinerja birokrasi yang proaktif, cerdas, cekatan, bersih, efektif, dan efisien. Kondisi darurat memerlukan kapabilitas, sikap, dan kecekatan.
Birokrasi yang baik bersifat melayani dan netral secara politik. Birokrasi modern belum ditemukan di Indonesia karena ruwetnya prosesi untuk mengurus segala sesuatu di dalamnya. "Birokrasi kita sejak Orde Baru sampai era reformasi ini memprihatinkan," kata Dr Eko Prasojo, profesor FISIP UI.
Jadi, sekali lagi, saatnya kini pemerintah memangkas birokrasi yang kelewat panjang dan berliku-liku. Birokrasi yang bertele-tele, makan waktu, energi, dan tentu saja rawan dijadikan sumber korupsi. Saatnya menciptakan birokrasi yang simpel, taktis, bersih, efektif, dan efisien. [I3]
Dapatkan berita populer pilihan Anda gratis setiap pagi di sini atau akses mobile langsung http://m.inilah.com via ponsel dan Blackberry !


Masyarakat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana dimana dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.
Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
[sunting] Lihat pula

Kamis, 12 Januari 2012

ETIKA BIROKRASI DALAM ADMINISTRASI PEMBANGUNAN

ETIKA BIROKRASI DALAM ADMINISTRASI PEMBANGUNAN
Tantangan Menghadapi Era Globalisasi
Oleh:
Ginandjar Kartasasmita
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas
Orasi Ilmiah Dies Natalis ke -41 FISIPOL UGM
Yogyakarta, 19 September 1996
I. Pendahuluan
Pertama -tama perkenankanlah saya menyampaikan selamat kepada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, yang sekarang sedang memperingati hari
jadinya yang ke-41. Sungguh merupakan kebahagiaan bagi saya dapat turut hadir pada
upacara peringatan ini, terutama karena saya merasa juga sebagai warga fakultas ini sebab
saya telah memperoleh penghargaan gelar doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada
dalam bidang kajian fakultas ini.
Kesempatan ini juga terkait dengan telah selesai dibangunnya gedung program
Magister Administrasi Publik (MAP), yang pembangunannya dilakukan secara swadana.
Sekali lagi saya ingin mengucapkan selamat kepada Universitas Gadjah Mada, khususnya
warga yang terlibat dalam program tersebut.
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya diminta untuk menyampaikan kuliah umum
dengan sebuah tema yang telah dipilih oleh pimpinan universitas untuk menjadi bahan
pembahasan, yaitu etika birokrasi pembangunan dengan penekanan khusus pada tantangan
yang dihadapi bangsa Indonesia dalam era globalisasi dan menyongsong era liberalisasi
perdagangan dunia.
Dalam membahas tema itu, saya ingin memulainya dengan secara singkat
mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam ilmu administrasi, khususnya
administrasi negara, mengenai etika administrasi, kemudian memproyeksikannya kepada
tantangan bagi birokrasi pembangunan, terutama dalam menghadapi era globalisasi.
Mengingat luasnya subjek yang menjadi bahan pembahasan, padahal waktunya amat
terbatas, dengan sendirinya apa yang dapat saya sajikan hanyalah paparan secara sangat
ringkas dalam kerangka pikir tertentu, dan di sana -sini mendalami berbagai aspeknya.
II. Etika dalam Administrasi
Etika adalah dunianya filsafat, nilai, dan moral. Administrasi adalah dunia keputusan
dan tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan b u r u k ,
sedangkan administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan (get the
job done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah bagaimana mengaitkan
keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi ---s eperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas--- dapat menjelaskan etika dalam prakteknya, dan bagaimana gagasangagasan dasar etika --mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk itu-- dapat
menjelaskan hakikat administrasi.www.ginandjar.com 2
Terutama sejak dasawarsa tahun 1970-an, etika administrasi telah menjadi bidang
studi yang berkembang pesat dalam ilmu administrasi.
1
Perkembangan ini terutama didorong,
meskipun bukan disebabkan semata-mata oleh masalah-masalah yang dihadapi oleh
administrasi negara di Amerika karena skandal-skandal seperti Watergate dan Iran Contra.
Kajian-kajian tersebut masih berlangsung hingga saat ini, dan masih belum terkristalisasi. Hal
ini mencerminkan upaya untuk memantapkan identitas ilmu administrasi, yang sebagai disiplin
ilmu yang bersifat eklektik dan terkait erat dengan dunia praktek, tidak dapat tidak terus
berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Meskipun dikatakan demikian, sejak awalnya masalah kebaikan dan keburukan telah
menjadi bagian dari bahasan dalam administrasi; walaupun sebagai subdisiplin baru berkembang kemudian. Misalnya, konsep birokrasi dari Weber, dengan konsep hirarkinya dan birokrasi sebagai profesi, mencoba untuk menunjukkan birokrasi yang baik dan benar. Begitu juga
upaya Wilson untuk memisahkan politik dari administrasi. Bahkan konsep manajemen ilmiah
dari Taylor dapat juga dipandang sebagai upaya ke arah itu. Cooper (1990) bahkan
menyatakan bahwa nilai-nilai adalah jiwanya administrasi negara. Frederickson (1994) mengatakan nilai-nilai menempati setiap sudut administrasi. Jauh sebelum itu Waldo (1948)
menyatakan siapa yang mempelajari administrasi berarti mempelajari nilai, dan siapa yang
mempraktekkan administrasi berarti mempraktekkan alokasi nilai-nilai.
Peran etika dalam administrasi baru mengambil wujud yang lebih terang relatif
belakangan ini saja, yakni kurang lebih dalam dua dasawarsa terakhir ini. Masalah etika ini
terutama lebih ditampilkan oleh kenyataan bahwa meskipun kekuasaan ada di tangan mereka
yang memegang kekuasaan politik (political masters), ternyata administrasi juga memiliki
kewenangan yang secara umum disebut discretionary power. Persoalannya sekarang adalah
apa jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara “benar” dan
tidak secara “salah” atau secara baik dan tidak secara buruk. Banyak pembahasan dalam
kepustakaan dan kajian subdisiplin etika administrasi yang merupakan upaya untuk menjawab
pertanyaan itu.
2
Etika tentunya bukan hanya masalahnya administrasi negara. Ia masalah
manusia dan kemanusiaan, dan karena itu sejak lama sudah menjadi bidang studi dari ilmu
filsafat dan juga dipelajari dalam semua bidang ilmu sosial. Di bidang administrasi, etika juga
tidak terbatas hanya pada administrasi negara, tetapi juga dalam administrasi niaga, yang
antara lain disebut sebagai business ethics.
3

1
Nicholas Henry (1995) berpandangan bahwa ada tiga perkembangan yang mendorong berkembangnya
konsep etika dalam ilmu administrasi, yaitu (1) hilangnya dikotomi politik administrasi, (2)
tampilnya teori-teori pengambilan keputusan di mana masalah perilaku manusia menjadi tema
sentral dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya seperti rasionalitas, efisiensi, (3)
berkembangnya pandangan-pandangan pembaharuanm, yang disebutnya “counterculture
critique”, termasuk di dalamnya dalam kelompok yang dinamakan “Administrasi Negara Baru”.
2
John A. Rohr menunjukkan dengan jelas melalui ungkapan sebagai berikut: “Through administrative
discretion, bureaucrats participate in the governing process of our society; but to govern in a
democratic society without being responsible to the electorate raises a serious ethical question
for bureaucrats”.
3
Oleh karena itu pula bahasan ini tidak dimulai dengan batasan-batasan karena telah banyak
kepustakaan yang mengupas etika, moral, moralitas, sehingga pengetahuan mengenai hal itu di
sini sudah dianggap “given”. Untuk kepentingan pembahasan di sini diikuti jejak Rohr,
pakarnya masalah etika dalam birokrasi, yang menggunakan etika dan moral dalam pengertian
yang kurang lebih sama, meskipun untuk kepentingan pembahasan lain, misalnya dari sudut
filsafati, memang ada perbedaan. Rohr menyatakan: “For the most part, I shall use the words
“ethics” and “morals” interchangeably. Although there may be nuances and shades of
meaning that differentiate these words, they are derived etymologically from Latin and Greek
words with the same meaning.” Kita ketahui dari kepustakaan bahwa kata etika berasal dari
Yunani ethos yang artinya kebiasaan atau watak; dan moral, dari kata Latin mos (atau mores
untuk jamak) yang artinya juga kebiasaan atau cara hidup.www.ginandjar.com 3
Namun, mungkin ini mencerminkan ego disiplin saya sendiri, di bidang administrasi
negara, sehingga masalah ini menjadi keprihatinan (concern) yang sangat besar, karena
perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu,
birokrasi juga bekerja atas dasar ke percayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara
dan berarti juga untuk rakyat. Wajarlah apabila rakyat mengharapkan adanya jaminan bahwa
para birokrat (yang dibiayainya dan seharusnya mengabdi kepada kepentingannya) bertindak
menurut suatu standar etika yang selaras dengan kedudukannya .
Selain itu, telah tumbuh pula keprihatinan bukan saja terhadap individu-individu para
birokrat, tetapi terhadap organisasi sebagai sebuah sistem yang memiliki kecenderungan untuk
mengesampingkan nilai-nilai. Apalagi biokrasi modern yang cenderung bertambah besar dan
bertambah luas kewenangannya. Appleby (1952), termasuk orang yang paling berpengaruh
dalam studi mengenai masalah ini. Ia mencoba mengaitkan nilai-nilai demokrasi dengan
birokrasi dan melihat besarnya kemungkinan untuk memadukannya secara serasi. Namun,
Appleby mengakui bahwa dalam prakteknya yang terjadi adalah kebalikannya. Ia membahas
patologi birokrasi yang memperlihatkan bahwa birokrasi itu melenceng dari keadaan yang
seharusnya. Golembiewski (1962, 1965) yang juga merujuk pada pandangan Appleby,
selanjutnya mengatakan bahwa selama ini organisasi selalu dilihat sebagai masalah teknis dan
bukan masalah moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanya birokrasi
pemerintah. Hummel (1977, 1982, 1987) mengeritik birokrasi rasional a la Weber dengan
antara lain menyatakan bahwa birokrasi, yang disebut sebagai bentuk organisasi yang ideal,
telah merusak dirinya dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma-norma, nilai-nilai, dan etika
yang berpusat pada manusia.
III. Berbagai Pendekatan
Apabila secara umum telah tercapai kesepakatan di antara para pakar mengenai
adanya masalah dalam administrasi negara yang berkaitan dengan etika sehingga perlu
dikembangkan sebagai suatu bidang studi khusus, maka khasanah kepustakaannya
disemarakkan dengan banyaknya pendekatan yang digunakan oleh berbagai pakar. Keadaan
ini wajar saja, dan memang menjadi karakteristiknya ilmu sosial, yang tidak pernah mudah
mencari kebenaran mutlak atau yang dapat diterima secara umum.
Dengan tidak bermaksud membuat penyederhanaan (oversimplification), saya kira
ada dua pendekatan yang dapat diketengahkan yang tampaknya dapat mewakili banyak
pandangan, jika tidak dapat dikatakan sebagian besar pandangan-pandangan yang ada.
Pertama pendekatan teleologi. Pendekatan teleologi terhadap etika administrasi
berpangkal tolak bahwa apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan oleh
administrasi, acuan utamanya adalah nilai kemanfaatan yang akan diperoleh atau dihasilkan,
yakni baik atau buruk dilihat dari konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Dalam
konteks administrasi negara pendekatan teleologis mengenai baik dan buruk itu, diukur antara
lain dari pencapaian sasaran kebijakan-kebijakan publik (seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan mengikuti pendidikan, kualitas lingkungan), pemenuhan pilihanpilihan masyarakat atau perwujudan kekuasaan organisasi, bahkan kekuasaan perorangan
kalau itu menjadi tujuan dari administrasi.
Pendekatan ini juga terdiri atas berbagai kategori. Ada dua yang utama. Pertama,
adalah apa yang disebut ethical egoism, yang berupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Yang amat dikenal di sini adalah Niccolo Macheavelli, seorang birokrat Itali (Florensia)
pada abad ke -15, yang menganjurkan bahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan
yang benar untuk seorang administrator pemerintah. Yang kedua, adalah utilitarianism,
yang pangkal tolaknya adalah prinsip kefaedahan (utility), yaitu mengupayakan yang terbaik www.ginandjar.com 4
untuk sebanyak-banyaknya orang. Prinsip ini sudah berakar sejak lama, terutama pada
pandangan-pandangan abad ke-19, antara lain dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mills.
Namun, di antara keduanya, yaitu egoism dan utilitarianism, tidak terdapat jurang pemisah
yang tajam karena merupakan suatu kontinuum, yang di antaranya dapat ditempatkan,
misalnya, pandangan Weber bahwa seorang birokrat sesungguhnya bekerja untuk kepentingan
dirinya sendiri pada waktu ia melaksanakan perintah atasannya, yang oleh Chandler (1994)
disebut sebagai “a disguise act of ego”.
Namun, telah dapat diperkirakan bahwa dalam masa modern dan pasca modern ini,
pandangan utilitarianism atau kelompok pendekatan teleologis ini memperoleh lebih banyak
perhatian.
Dalam pandangan ini yang amat pokok adalah bukan memperhatikan nilai-nilai moral,
tetapi konsekuensi dalam keputusan dan tindakan administrasi itu bagi masyarakat.
4
Kepentingan umum (public interest) merupakan ukuran penting menurut pendekatan
ini. Di sini pun ditemui pula berbagai masalah.
Pertama, siapa yang menentukan apakah sesuatu sasaran, ukuran, atau hasil yang
dikehendaki didasarkan pada kepentingan umum, dan bukan kepentingan si pengambil
keputusan sendiri, atau kelompoknya, atau kelompok yang ingin diuntungkan.
5
Kedua, di mana letak batas antara hak perorangan dengan kepentingan umum. Jika
kepentingan umum mencerminkan dengan mudah kepentingan banyak individu, maka ma -
salahnya sederhana.
6
Namun, jika ada perbedaan tajam antara keduanya, maka akan timbul
masalah.
7
Ketiga, bagaimana membuat perhitungan yang tepat bahwa langkah-langkah yang
dilakukan akan menguntungkan kepentingan umum dan tidak merugikan. Hal ini penting oleh
karena kekuatan dari pendekatan (utilitarianism) ini adalah bahwa dalam neracanya harus
diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan kerugian yang sekecil-kecilnya, untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Atau dengan kata lain efisiensi.
8

4
Misalnya, membunuh bertentangan dengan nilai yang amat mendasar dalam moral, tetapi membunuh
musuh (bahkan dalam situasi tertentu sebanyak-banyaknya, dengan menjatuhkan bom atom,
misalnya) dibenarkan karena yang menjadi pertimbangan adalah apa yang ingin dicapai dari
tindakan itu. Misalnya, serangan Amerika Serikat terhadap Irak, dari segi moral termasuk moral
Barat tidak bisa dibenarkan; tetapi ada tujuan atau hasil yang ingin dicapai yang memberi
pembenaran pada para pengambil keputusan di negara itu. Contoh lain adalah bahwa tidak semua
kebenaran dapat dibeberkan oleh pemerintah kepada masyarakat karena bisa merugikan, misalnya
hubungan dengan negara lain, atau sesuatu yang sedang diperjuangkan, atau yang dapat
menimbulkan gejolak apabila dikemukakan. Di sini perbua t an untuk t idak be rbicara sejujurnya,
yang bertentangan dengan etika, dibenarkan, karena konsekuensi dari berbicara yang sebenarnya
akan berakibat buruk bagi kepentingan umum.
5
Nicholas Henry , menyatakan: “Public administrators do make political decisions, but no effective
moral and philosophic guidelines exist for their making these decisions in the public interest.”
6
Misalnya, upaya mengendalikan inflasi, dengan kebijakan memperketat jumlah uang beredar. Kebijakan
publik seperti itu akan mengakibatkan naiknya suku bunga, sehingga memberatkan beban dunia
usaha, tetapi hasil yang akan diperoleh, yaitu stabilitas ekonomi, mencerminkan kepentingan
yang lebih luas.
7
Misalnya, dalam beberapa kasus pembebasan tanah di daerah-daerah, seperti Waduk Nipah di
Madura.
8
Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh konsep kita sendiri di Indonesia. Deregulasi dan
debirokratisasi akan meningkatkan efisiensi, karena itu adalah perbuatan yang baik atau benar.
Tetapi, dengan langkah itu yang kuat akan makin kuat daya saingnya dan yang lemah bisa makin
lemah kalau dibiarkan begitu saja. Akibatnya terjadi kesenjangan yang melebar. Pertimbangan
baik buruk di sini haruslah memperhitungkan aspek-aspek tersebut, yang mungkin akan menghasilkan kesimpulan perlu dilakukannya upaya lain yang akan menutupi kerugian tersebut. www.ginandjar.com 5
Salah satu jawaban yang juga berkembang adalah apa yang disebut pilihan publik,
suatu teori yang berkembang atas dasar prinsip-prinsip ekonomi. Pandangan ini berpangkal
pada pilihan-pilihan perorangan (individual choices) sebagai basis dari langkah-langkah politik
dan administratif. Memaksimalkan pilihan-pilihan individu merupakan pandangan teleologis
yang paling pokok, dengan mengurangi sampai sekecil mungkin biaya atau beban dari tindakan
kolektif terhadap individu.
9
Konsep ini berkaitan erat dengan prinsip-prinsip ekonomi pasar
dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Dengan sendirinya akan ada
konflik dalam pilihan-pilihan tersebut, dan bagaimana mengelola konflik-konflik itu merupakan
tantangan pokok bagi administrasi dalam merancang dan mengelola badan-badan dan
program-program publik.
Dapat dipahami bahwa tidak semua pihak merasa puas dengan pendekatanpendekatan yang demikian. Justru, munculnya pandangan-pandangan mengenai etika administrasi menjelang akhir abad ke-20 ini berkaitan erat dengan upaya mendudukkan etika atau
moral sebagai prinsip utama (guiding principles) dalam administrasi. Hal ini merupakan
tema dari pendekatan deontologi.
Pendekatan ini berdasar pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan karena
kebenaran yang ada dalam dirinya, dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari
keputusan atau tindakan yang dilakukan. Asasnya adalah bahwa proses administrasi harus
berlandaskan pada nilai-nilai moral yang mengikat.
1 0
Pendekatan ini pun, tidak hanya satu
garisnya. Yang amat mendasar adalah pandangan yang bersumber pada falsafah Immanuel
Kant (1724-1809), yaitu bahwa moral adalah imperatif dan kategoris, yang tidak membenarkan
pelanggaran atasnya untuk tujuan apa pun, meskipun karena itu masyarakat dirugikan atau
harus jatuh korban.
1 1
Berbeda dengan pandangan Kantian tersebut, ada pula pandangan relativisme dalam moral dan kebudayaan, yang menolak kekakuan dan absolutisme dalam
memberi nilai pada moral.
Menurut pandangan ini suatu peradaban atau kebudayaan akan menghasilkan sistem
nilainya sendiri, yang dapat tetapi tidak harus selalu sama dengan peradaban atau kebudayaan
lain.
1 2
Dari pokok pikiran tersebut berkembang pandangan-pandangan yang disebut situationism yang bertentangan dengan paham universalism. Situation ethics ini intinya adalah
bahwa determinan dari moralitas yang ditetapkan berkaitan dengan situasi tertentu.
1 3

Misalnya, dengan program-program kebijakan pemberdayaan untuk memperkuat daya saing
lapisan masyarakat yang lebih lemah.
9
Harmon dan Mayer (1986) menyatakan “In organizing for collective action, the objective is to
construct decisio n-making arrangements which is to say, organizations that produce the least
possible infringement on individual liberty and hold the organizing costs to a minimum, and at
the same time produce results with which everyone can live”.
10
Kathryn G. Denhardt (1988) misalnya, mengatakan “Organizations and their members must not be
moral only where it is efficient to do so, they must be efficient only where it is moral to do so”.
11
Contoh yang sering dibicarakan adalah berbohong untuk melindungi nyawa seseorang. Menurut
pandangan ini, dengan tujuan apa pun berbohong tidak bisa dibenarkan.
12
Banyak contoh mengenai hal ini. Misalnya, di beberapa masyarakat Barat, hubungan “suami-isteri”
antara dua manusia sejenis dimungkinkan. Namun di dunia Timur sistem nilainya tidak akan
menerimanya. Sebaliknya, poligami diterima di sebagian masyarakat seperti di dunia Islam, atau
poliandri di masyarakat Hindu tertentu, tetapi di dunia lain tidak diterima.
13
Rohr menjelaskannya sebagai berikut: “One of the perennial questions in the history of ethics has
been whether particular moral principles are based on nature or convention. Is morality
something of man’s own making, something that differs from age to place and are rooted in
man’s being? In the ancient world, Plato reported Socrates’ rigorous inquiry into this problem
and Sophocles’ Antigone has immortalized the problem in verse. Medieval men carried on the
debate with the pithy Latin phrase: malum quia prihibitum aut prohibitum quia malum. That www.ginandjar.com 6
Dalam dunia praktek, yang menjadi dunianya administrasi memasukkan nilai-nilai
moral ke dalam administrasi, merupakan upaya yang tidak mudah, karena harus mengubah
pola pikir yang sudah lama menjiwai administrasi, seperti yang dicerminkan oleh paham utilitarianisme. Oleh karena memang perdefinisi administrasi adalah usaha bersama untuk
mencapai suatu tujuan, maka pencapaian tujuan itu merupakan nilai utama dalam administrasi
selama ini.
Fox (1994), antara lain mengetengahkan tiga pandangan yang menggambarkan
pendekatan deontologi dalam etika administrasi ini.
Pertama, pandangan mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama
berkembangnya “Administrasi Negara Baru” (antara lain Frederickson dan Hart, 1985).
1 4

Menurut pandangan ini administrasi negara haruslah secara proaktif mendorong terciptanya
pemerataan atau keadilan sosial (social equity). Mereka melihat bahwa masalah yang
dihadapi oleh administrasi negara modern adalah adanya ketidakseimbangan dalam
kesempatan sehingga mereka yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik,
memperoleh posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan, administrasi haruslah membantu yang miskin, yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak
terorganisasi. Pandangan ini, cukup berkembang, meskipun di dunia akademik banyak juga pengeritiknya.
Kedua, apa yang disebut regime values atau regime norms. Pandangan ini
terutama bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwa etika administrasi negara
harus mengacu kepada nilai-nilai yang melandasi keberadaan negara yang bersangkutan.
Dalam hal ini ia merujuk kepada konstitusi Amerika yang harus menjadi landasan etika para
administrasi di negara itu.
Ketiga, tatanan moral universal atau universal moral order (antara lain Denhardt,
1988, 1991). Pandangan ini berpendapat bahwa ada nilai-nilai moral yang bersifat universal
yang harus menjadi pegangan bagi administrator publik. Masalahnya di sini ada lah nilai-nilai
moral itu sendiri banyak yang dipertanyakan karena beragamnya sumbernya dan juga
kebudayaan serta peradaban, seperti telah diuraikan di atas.
Berkait dengan itu, belakangan ini banyak kepustakaan etika administrasi yang
membahas dan mengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika ini berbicara mengenai
karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep ini merupakan koreksi terhadap
paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as
rules), yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur, termasuk
di dalamnya sistem insentif dan disinsentif dan sanksi-sanksi berdasarkan aturan.
1 5
Pandangan etika kebajikan bertumpu pada karakter individu. Pandangan ini seperti
juga pandangan “Administrasi Negara Baru” bersumber dari konperensi Minnowbrook di New
York pada akhir dasawarsa 1960-an, yang ingin memperbaharui dan merevitalisasi bidang
studi administrasi negara. Nilai-nilai kebajikan inilah yang diharapkan dapat mengendalikan

is, is something evil be caus e i t i s prohibi t ed or i s i t prohibi t ed be caus e i t i s e v i l? The
contemporary version of the debate is frequently couched in terms of “situation ethics”.
14
Pandangan ini tidak lepas dari pengaruh John Rawls (1971), dengan “Theory of Justice”nya yang
menjadi rujukan dari berbagai teori pemerataan dan keadilan sosial.
15
Antara lain D.K. Hart (1994) mengungkapkannya sebagai berikut: “.. For too long, the management
orthodoxy has taken as axiomatic the proposition that “good systems will produce good
people,” and that ethical problems will yield to better systems design. But history is clear that
a just society depends more upon the moral trustworthiness of its citizens and its leaders than
upon structures designed to transform ignoble actions into socially usefull results. Systems are
important, but good character is more important. As a result, management scholars and
practitioners are giving increasing attention to administrative ethics…”www.ginandjar.com 7
peran seseorang di dalam organisasi sehingga pencapaian tujuan organisasi senantiasa berlandaskan nilai-nilai moral yang sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Tantangan selanjutnya adalah menemukan apa saja nilai-nilai kebajikan itu, atau lebih
tepatnya lagi nilai-nilai mana yang pokok (cardinal values), dan mana yang menjadi turunan
(derivative) dari nilai-nilai pokok itu. Frankena (1973) misalnya, mengatakan bahwa hanya
ada dua kebajikan pokok (cardinal virtues), yaitu benevolence dan justice. Semua nilai
kebajikan lain bersumber dari kedua nilai utama itu.
1 6
Hart mengatakan bahwa kebajikan
pokok itu adalah eudaimonia dan benevolence.
1 7
Selanjutnya administrator yang bajik (virtuous administrator) adalah yang berusaha,
seperti dikatakan oleh Hart (1995) agar kebajikan menjadi sentral dalam karakternya sendiri,
yang akan membimbingnya dalam perilakunya dalam organisasi. Tidak berhenti di situ saja;
a dministrator yang bajik berkewajiban moral untuk mengupayakan agar kebajikan juga menjadi
karakter mereka yang bekerja di bawahnya. Namun, dinyatakannya pula bahwa kebajikan
tidak bisa dipaksakan kepada yang lain karena kebajikan harus berasal dari diri masing-masing
individu (voluntary observance). Ia menekankan bahwa “virtue does not yield to social
engineering.” Di sini Hart menge tengahkan pentingnya pendidikan mengenai kebajikan sejak
dini, serta dilancarkannya kebijakan-kebijakan program, praktek-praktek yang mendorong
berkembangnya nilai-nilai kebajikan dalam organisasi. Akhirnya, dan yang teramat penting
adalah keteladanan. Ia sendiri mengakui bahwa tidak ada orang yang dapat mencapai tingkat
kebajikan yang ideal, maka dalam etika kebajikan yang penting adalah proses untuk menginternalisasikannya dibandingkan dengan hasilnya.
Dalam membahas etika dalam organisasi, sejumlah pakar membedakan antara etika
perorangan (personal ethics) dan etika organisasi. Etika perorangan menentukan baik atau
buruk dalam perilaku individual seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam
organisasi. Etika organisasi menetapkan parameter dan merinci kewajiban-kewajiban
(obligations) organisasi itu sendiri, serta menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan
etika perorangan itu dibentuk (Vasu, Stewart, Garson, 1990). Menjadi tugas bagi para
pengkaji organisasi untuk memahami lebih dalam hakikat etika perorangan dan etika organisasi
serta interaksinya.
Pembahasan yang terakhir adalah mengenai etika profesional. Nilai-nilai kebajikan
yang dibicarakan di atas adalah etika perorangan yang harus dimiliki siapa saja, tidak
terkecuali, bahkan dalam pandangan ilmu administrasi, justru terutama harus dimiliki oleh
mereka yang menjadi pengabdi masyarakat (public servants).
Etika profesional lebih sempit dibandingkan dengan etika perorangan yang berlaku
buat semua itu. Dalam menganalisis etika perorangan dari kaca mata ilmu administrasi, Rohr
(1983) membaginya dalam kelompok metaetika (studi mengenai dasar-dasar linguistik dan
epistemiologis dari etika), etika umum (prinsip-prinsip mengenai benar dan salah), dan etika
khusus. Etika khusus dibaginya lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Dalam etika
khusus ini ia memasukkan etika profesional. Paham lain melakukan pendekatan analitis yang

16
Ia mengatakan “many moralists, among them Schopenhouer, have taken benevolence and justice to
be the cardinal moral virtues, as I would. It seems to me that all of the usual virtues (such as
love, courage, temperance, honesty, gratitude, and considerateness), at least insofar as they
are moral virtues, can be d erived from these two”.
17
Yang dimaksud dengan eudamonia menurut Hart adalah konsep bahwa “all individuals are born
with unique potentialities and the purpose of life is to actualize them in the world. These
potentialities involve, first, moral virtues and, second, our unique individual talents. With
respect to morality, eudaimonia cannot involve harming either self or others, as the prefix
“eu”, or “good,” makes clear.” Sedangkan benevolence diartikannya sebagai “the love of
other “. www.ginandjar.com 8
berbeda, tetapi pendekatan di atas saya kemukakan sebagai suatu ilustrasi upaya untuk
mengetahui kedudukan etika profesional dalam keseluruhan sistem nilai yang membentuk etika
perorangan, dari sudut pandang ilmu administrasi.
Etika profesional berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Oleh karena itu, etika
profesional berlaku dalam suatu kerangka yang diterima oleh semua yang secara hukum atau
secara moral mengikat mereka dalam kelompok profesi yang bersangkutan. Etika profesional
pada profesi tertentu dilembagakan dalam apa yang umum disebut kode etik. Misalnya, kode
etik untuk dokter, hakim, pengacara, wartawan, arsitek, pegawai negeri, periklanan dan
sebagainya. Kode etik itu ada yang diperkuat oleh sistem hukum, atau mengikat secara sosial
dan secara kultural, sehingga mengikat secara moral.
IV. Masalah Etika dalam Birokrasi Pembangunan
Uraian di atas mencoba menunjukkan bahwa masalah etika dalam administrasi adalah
masalah yang menjadi kepedulian dan keprihatinan para pakar di bidang ini. Ia menjadi
masalah di negara yang paling maju sekali pun, yakni di negara seperti Amerika Serikat yang
telah berdiri selama dua seperempat abad, yang konstitusi dan gagasan-gagasan idealnya
menjadi contoh bagi konstitusi dan gagasan-gagasan dasar banyak negara lain, dan yang
administrasinya juga menjadi rujukan administrasi di banyak negara lain.
1 8
Negara-negara lain
yang telah lanjut usia nya, seperti Inggris, Prancis, dan Jepang, juga mengalami masalah yang
sama, yaitu persoalan dalam etika birokrasinya. Di negara-negara itu birokrasi diandalkan
untuk menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, yang bersifat jujur dan adil, dan
keseluruhan sistemnya diarahkan untuk menjamin adanya hal itu.
Namun, ternyata mereka tetap saja menghadapi masalah dalam birokrasinya, yang
terlihat dari banyaknya skandal yang melibatkan birokrasi mereka. Dengan latar belakang
pandangan itu, adalah wajar apabila di negara yang baru membangun ditemukan pula masalahmasalah yang sama. Bahkan sulit untuk dibantah, meskipun perlu ada kajian yang lebih dalam,
bahwa di negara berkembang masalah etika ini proporsinya jauh lebih besar.
Pandangan itu didukung oleh observasi yang umum dalam kondisi administrasi di
negara-negara berkembang seperti antara lain sebagai berikut.
Pertama, belum tercipta tradisi administrasi yang baik, yang menjaga timbulnya
masalah etika seminimal mungkin. Negara berkembang sedang mengembangkan administrasinya, yang sesuai dengan kebudayaannya, tetapi mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku umum.
Negara-negara itu tidak mempunyai banyak rujukan, karena tidak dapat melanjutkan administrasi yang berasal dari masa kolonial, yang tujuan keberadaannya berbeda dengan
administrasi dalam negara yang merdeka. Juga tidak bisa merujuk pada administrasi
prakolonial, seperti, dalam hal kita, administrasi kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau pun
Mataram yang lebih baru, yang sama sekali tidak relevan untuk keadaan masa kini. Juga kita
tidak bisa meniru begitu saja administrasi yang sudah “matang” di negara maju, karena adanya
perbedaan pada tingkat kemajuan ekonomi maupun sosial, dan latar belakang budaya.
Kedua, adanya keterbatasan dalam sumber daya, yang menyebabkan pengembangan
administrasi yang baik tidak bisa cepat berjalan. Keterbatasan itu adalah baik dalam hal sumber dana maupun sumber daya manusia (SDM). SDM administrasi sangat terbatas kualitas,
kompetensi, dan profesionalismenya, dan keadaan itu diperberat oleh imbalan yang rendah
karena keterbatasan dana peme rintah.

18
Tidak ada orang yang membantah bahwa ilmu administrasi berkembang di Amerika, dan menjadi
rujukan bagi pengembangan ilmu ini di semua negara lainnya, termasuk di Indonesia.www.ginandjar.com 9
Ketiga, administrasi hidup dalam suatu sistem politik, dan di banyak negara
berkembang sistem politik itu sendiri masih berkembang. Baru belakangan ini saja negaranegara berkembang berupaya menerapkan dengan sungguh-sungguh prinsip-prinsip demokrasi
ke dalam sistem politiknya. Itu pun masih banyak ragamnya dan masih banyak masalahnya.
Dalam keadaan demikian, administrasi secara politis berperan lebih besar dibandingkan dengan
di negara yang sistem demokrasinya telah lebih maju. Peran politik yang besar itu, acapkali
tidak diimbangi dengan kebertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat seperti
layaknya dalam sebuah sistem demokrasi. Dalam suasana demikian, maka alokasi kekuasaan
berjalan secara tertutup, dan tidak terkendali oleh sistem konstitusi, sistem demokrasi, dan
sistem hukum. Dengan sendirinya sistem yang demikian (atau ketiadaan sistem yang juga
merupakan sistem tersendiri) akan mengabaikan etika, dan menjadi lahan subur untuk berkembangnya penyalahgunaan kekuasaan, kolusi, korupsi, dan sebagainya.
Dengan demikian, masalah etika dalam administrasi negara yang sedang membangun
jauh lebih rumit dibandingkan dengan masalah etika di negara yang sudah maju, yang dari
uraian di atas juga kita ketahui sudah cukup rumit. Dengan kata lain, variabelnya lebih luas
dan ketidakpastiannya lebih besar. Oleh karena itu, akan sangat keliru apabila orang berpendapat bahwa memperbaiki birokrasi di negara berkembang adalah pekerjaan mudah. Oleh
karena itu pula, dapat dipahami bahwa rasa kecewa, bahkan frustasi, terutama di kalangan
berbagai kelompok elit ma syarakat di negara berkembang terhadap birokrasinya jauh lebih
keras dan vokal dibandingkan dengan di negara maju (yang juga sudah cukup keras dan vokal
itu).
Upaya memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya menanamkan etika sebagai
nilai utama dalam administrasi, yang tercermin baik dalam etika perorangan maupun etika
organisasi adalah pekerjaan yang memerlukan kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat
diharapkan akan spektakuler, tetapi akan lebih banyak bersifat inkremental.
Ia harus terkait dengan pembangunan sosial ekonomi secara keseluruhan.
Keberhasilan dan kemajuan pembangunan administrasi akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dan kemajuan pembangunan sosial ekonomi. Sebaliknya, kemajuan sosial ekonomi
sangat tergantung dari kemampuan administrasi dalam menyelenggarakan tugas-tugas
pembangunan. Dengan demikian, keduanya berkaitan sangat erat dan satu sama lain saling
memperkuat.
V. Etika Birokrasi dalam Era Globalisasi
Setelah mengenali penyakit birokrasi yang dihadapi negara berkembang pada
umumnya, kita bisa memilih salah satu dari dua alternatif. Pertama , “santai-santai” saja,
karena perbaikan birokrasi berlangsung secara evolutif dan tidak bisa dipaksakan. Kedua,
berupaya keras. Dengan segala keterbatasan dan kendala yang dihadapi, diupayakan untuk
mempercepat proses perbaikan administrasi.
Saya memilih alternatif yang kedua. Ada beberapa alasan mengapa kita harus
mencambuk diri untuk melompat maju dalam membangun administrasi.
Pertama, ekonomi Indonesia sekarang ada pada ambang (threshold) untuk
meningkat dari ekonomi berpendapatan rendah menjadi ekonomi berpendapatan menengah.
Secara struktural sedang terjadi perubahan dari ekonomi, dengan basis agraris, ke ekonomi
dengan basis industri.
Kedua, selain transformasi ekonomi, juga terjadi transformasi budaya dalam
masyarakat kita, dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.www.ginandjar.com 10
Ketiga, sebagai akibat dari keduanya masyarakat Indonesia telah teremansipasi dan
telah mulai melepaskan diri dari perangkap keterbelakangan. Derajat pendidikan dan kesehatan warga telah meningkat, berarti pula kecerdasan, harapan, dan tuntutannya. Masyarakat
yang demikian tidak akan sabar dengan perbaikan yang berjalan lambat, terutama da lam
birokrasi, yang menjadi tumpuan harapan perbaikan kehidupannya. Akibatnya, dapat meningkatkan ketegangan-ketegangan dan friksi-friksi sosial.
Keempat, globalisasi akan meningkatkan kadar keterbukaan dan kadar informasi
bangsa Indonesia, dan akan lebih meningkatkan lagi wawasan, kesadaran dan pengetahuannya, dan dengan sendirinya harapa n-harapan dan tuntutan-tuntutannya.
Kelima, liberalisasi perdagangan dan integrasi pandangan dunia, membuka peluangpeluang baru dan memberikan harapan-harapan baru untuk membangun kehidupan yang lebih
baik, secara dipercepat. Namun, hal itu juga dapat membawa malapetaka apabila peluangpeluang tersebut kita tidak mampu memanfaatkannya. Kuncinya adalah daya saing. Oleh
karena itu, meningkatkan daya saing adalah tantangan dan harus menjadi agenda
pembangunan yang utama dalam memasuki abad ke-21. Daya saing ditentukan oleh dua hal,
produktivitas dan efisiensi. Produktivitas ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dan
efisiensi berkaitan dengan aspek kelembagaan. Dalam membangun kelembagaan yang efisien
ini peran administrasi pembangunan teramat penting.
1 9
Semuanya itu, menuntut birokrasi pembangunan yang mampu mendukung proses
perubahan itu dan aspirasi yang berkembang bersamanya. Birokrasi seperti apa adanya,
dalam kondisi sekarang ini, meskipun telah banyak kemajuannya, tidak akan memadai. Harus
ada perbaikan, dan perbaikan itu harus terwujud dengan nyata dalam administrasi yang lebih
berkualitas dan birokrasi yang bekerja lebih baik.
Berkaitan dengan etika birokrasi, untuk kepentingan kita, harus diupayakan untuk
menerapkan kedua pendekatan baik yang bersifat teleologis maupun deontologis. Kita menginginkan birokrasi yang terdiri atas manusia -manusia yang berkarakter. Karakter yang
dilandasi sifat-sifat kebajikan akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan
masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan
bukan hanya dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang mendasar, tetapi
juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting karena dengan semangat kejuangan itu
seorang birokrat, meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai, akan sanggup bertahan dari
godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan.
Seperti yang dicita-citakan oleh kaum “Administrasi Negara Baru”, birokrasi kita
hendaknya memiliki pula semangat keadilan sosial, yang akan tercermin dalam keberpihakan
kepada yang lemah dalam kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya. Selanjutnya seperti
dianjurkan oleh pandangan regime value, birokrasi kita harus berpegang teguh kepada
konstitusi dan segenap ketentuan pelaksanaannya. Sebaliknya, birokrasi harus menentang
habis-habisan setiap upaya yang tidak konstitusional apalagi yang bertentangan dengan
konstitusi.

19
Pembangunan memerlukan investasi. Keputusan dunia usaha untuk mengadakan investasi di suatu
negara, ditentukan oleh bagaimana mereka memperhitungkan kemungkinan keuntungannya dan
risiko kegagalannya. Risiko kegagalan diperhitungkan melalui berbagai faktor, yang penting di
antaranya adalah transparansi dan kepastian, yang kesemuanya terkait erat dengan pekerjaan
birokrasi. Selain itu daya saing dipengaruhi oleh biaya-biaya, dan biaya berusaha yang tinggi
karena kelembagaan yang tidak efisien menyebabkan menurunnya daya saing.www.ginandjar.com 11
Selain itu, birokrasi kita juga harus berorientasi pada hasil (result oriented).
Kebijakan dan tindakannya harus menjamin bahwa hasilnya adalah yang terbaik buat
masyarakat. Ia harus mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingannya sendiri.
2 0
Akhirnya, saya ingin menutup uraian ini dengan mengemukakan bahwa sesungguhnya
bangsa Indonesia dan dengan demikian birokrasi kita, telah memiliki pedoman etika dalam
kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Nilai-nilai dasarnya adalah Pancasila.
Karena Pancasila itu sendiri merupakan rangkuman nilai-nilai yang bersifat sangat umum,
maka untuk upaya penghayatan dan pengamalannya telah ada kesepakatan yang dituangkan
dalam ketetapan dari lembaga yang memegang kedaulatan rakyat, yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pedoman etika itu adalah apa yang kita kenal sebagai Eka
Prasetya Panca Karsa, atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Sesungguhnya kalau norma -norma itu dapat diamalkan banyak sudah masalah etika yang
terselesaikan dalam birokrasi kita. Dalam pedoman itu dikenali hakekat manusia sebagai
mahluk pribadi dan mahluk sosial, dan kunci bagi perilaku yang dikehendaki adalah kemauan
dan kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri dan kepentingannya agar dapat
melaksanakan kewajiban sebagai warga negara dan warga masyarakat. Dengan sikap itu,
diupayakan untuk melaksanakan sila-sila Pancasila, baik sebagai sila-sila yang berdiri sendiri
maupun sebagai satu kesatuan yang utuh.
IV. Penutup
Demikianlah beberapa pandangan saya dan sekaligus sebuah sumbangan pada
peringatan Dies Natalis yang ke-41 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas
Gadjah Mada, dan bagi para peserta program Magister Administrasi Publik.
Sekali lagi saya menyadari keterbatasan dalam ruang dan waktu sehingga tentu saya
tidak mungkin dapat membahas pandangan-pandangan yang lebih menyeluruh. Meskipun
demikian, saya harapkan ada manfaatnya terutama dalam upaya untuk secara lebih sungguhsungguh, konseptual, sistematis, dan terarah memperkuat studi administrasi negara dengan
kajian mengenai etika administrasi. Saya mengharapkan pengembangan bidang kajian ini di
Indonesia tidak hanya bersumber pada pembahasan kepustakaan dan mempelaja ri pengalaman
dari sistem administasi di negara lain, tetapi harus dilengkapi dengan studi-studi kasus, survei,
penelitian lapangan, dan upaya pengkajian lainnya mengenai sistem kita sendiri, serta
pengalaman empiris dan masalah-masalah yang kita hadapi dalam menegakkan sistem itu.
Sekali lagi saya ucapkan selamat berulang tahun kepada FISIP-UGM, selamat
memiliki gedung baru pada program MAP PPs-UGM. Semoga Tuhan selalu bersama kita.
Daftar Pustaka
Anonim, Undang-Undang Dasar 1945, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila, Garis-garis Besar Haluan Negara 1993, Jakarta: BP-7 Pusat, 1993.
Appleby, Paul H., Morality and Administration in Democratic Government, Baton Rouge:
Lousiana State University Press, 1952.

20
Seperti juga telah banyak diuraikan di atas, ini bukan hanya karena idealisme kita sendiri saja, tetapi
menjadi bahasan yang luas dalam dunia akademik. Stahl (1994) misalnya menyatakan “The ideal
public servant, …… , is one who thinks in terms of the general welfare, the overall good, the
l o n g-range effect an action might have. He resists the temptation to respond just to the group
or individual pressing a case before him; he must first of all, be well enough informed to be
aware of other interests and to make certain that all interests are taken into consideration in
any de c i s ion-making”www.ginandjar.com 12
Bowman, J.L. (ed.), Ethical Frontiers in Public Management: Seeking New Strategies for
Resolving Ethical Dilemmas, San Fransisco: Jossey-Bass, 1991.
Chandler, Ralph C., Deontological Dimension of Adminis-trative Ethics dalam Cooper,
Terry L., Handbook of Administrative Ethics, New York, N.Y.: Marcel Dekker,
Inc, 1994.
Cooper, Terry L., The Responsible Administrator: An Approach to Ethics for the
Administrative Role, 3rd ed., San Fransisco: Jossey-Bass, 1990.
______________, An Ethic of Citizenship for Public Administration, Englewood Cliffs,
N.J.: Prentice-Hall, 1991.
______________ (ed.), Handbook of Administrative Ethics, New York, N.Y.: Marcel
Dekker, Inc, 1994.
______________, The Emergence of Administrative Ethics as a Field of Study in the
United States dalam Cooper, Terry L. (ed.), Handbook of Administrative Ethics,
New York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc, 1994.
______________ dan Wright, N.D., Exemplary Public Administrators: Character and
Leadership ini Government, San Fransisco: Jossey-Bass, 1992.
Denhardt, Kathryn G., The Ethics of Public Service: Resolving Moral Dilemmas in Public
Organizations, New York, N.Y.: Greenwood Press, 1988.
______________, Organizational Structure as a Context for Administrative Ethics
dalam Cooper, Terry L., Handbook of Administrative Ethics, New York, N.Y.:
Marcel Dekker, Inc, 1994.
Denhardt, Robert B., In The Shadow of organization, Lawrence, Kansas: The Regents
Press of Kansas, 1981.
Farazmand, Ali (ed.), Handbook of Bureaucracy, New York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc.,
1994.
Fox, Charles J., The Use of Phylosophy in Administrative Ethics dalam Cooper, Terry L.,
Handbook of Administrative Ethics, New York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc, 1994.
Frankena, W.K., Ethics, 2nd ed., Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1973.
Frederickson, H.G., Ethics and Public Administration, Armonk, N.Y.: M.E. Sharpe, Inc.,
1993.
_____________, Research and Knowledge in Administrative Ethics dalam Cooper, Terry
L., Handbook of Administrative Ethics, New York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc,
1994.
_____________ dan Hart, David K., The Public Service and The Patriotism of
Benevolence dalam Public Adminis-tration Review, 45, 1985.
Golembiewski, Robert T., Men, Management, and Morality: Toward a New
Organizational Ethic, New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers, 1989.
_____________ (ed.), Handbook of Organizational Behavior, New York, N.Y.: Marcel
Dekker, Inc., 1993.
Gortner, Harold F., Value and Ethics dalam Cooper, Terry L., Handbook of Administrative
Ethics, New York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc, 1994.
Harmon, M.M. dan Mayer, R.T., Organization Theory for Public Administration, Boston:
Little, Brown, 1986.www.ginandjar.com 13
Hart, David K., Administration and The Ethics of Virtue: In All Things, Choose First for
Good Character and Then for Technical Expertise dalam Cooper, Terry L. (ed.),
Handbook of Administrative Ethics, New York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc., 1994.
Henriques, D.B., The Machinery of Greed: Public Authority Abuse and What to do About
It, Lexington, Mass.: Lexington Books, 1986.
Henry, Nicholas, Public Administration and Public Affairs, 6th ed., Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice-Hall, 1995.
Hummel, R.P., The Bureucratic Experience, New York: St. Martin Press, 1977, 1982, 1987.
Lewis, Carol W. Lewis, The Ethics Challenge in Public Service, San Fransisco: JosseyBass, 1991.
Leys, Wayne A., Ethics for Polic y Decisions: The Arts of Asking Deliberative Questions,
Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, 1952.
Lynn, L.E., Managing Public Policy, Boston: Little, Brown, 1987.
Marini, Frank, Toward a New Public Administration: The Minnowbrook Perspective,
Scranton, Penn: Chandler Publishing Co., 1971.
Mertins, Herman, ed. Professional Standard and Ethics: A Workbook for Public
Administrators. Washington, D.C.: American Society for Public Administration, 1979.
______________ dan Hennigan, Patrick J., (eds.), Applying Professional Standards and
Ethics in the Eighties: A Workbook Study Guide for Public Administrators,
Washington, D.C.: American Society for Public Administration, 1982.
Morgan, Douglas F., The Public Interset dalam Cooper, Terry L., Handbook of
Administrative Ethics, New York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc, 1994.
Norton, David L., Democracy and Moral Development: A Politics of Virtue, Berkeley:
University of California Press, 1991.
Ott, J.S., The Organizational Culture Perspective, Chicago: Dorsey Press, 1989.
Pops, Gerald M., A Teleological Approach to Administrative Ethics dalam Cooper, Terry
L., Handbook of Administrative Ethics, New York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc,
1994.
Rakowski, Eric, Equal Justice, New York, N.Y.: Oxford University Press, 1993.
Rawls, J., A Theory of Justice, Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1971.
Rohr, John A., Professional Ethics dalam Thomas D. Lynch (ed.), Organization Theory
and Management, New York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc, 1983.
_____________, Ethics for Bureaucrats: An Essay on Law and Values, 2nd ed., New
York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc, 1989.
Schein, E.H., Organizational Culture and Leadership, San Fransisco: Jossey-Bass, 1985.
Stahl, O. Glenn, Ethical Foundations dalam Farazmand, Ali (ed.), Handbook of
Bureaucracy, New York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc., 1994.
Sternberg, S.S. dan Austern, D.T., Goverment, Ethics, and Managers: A Guide to Solving
Ethical Dilemmas in The Public Sector, New York: Praeger, 1990.
Stillman, R.J., Public Administration: Consepts and Cases, 5th ed., Boston: Houghton
Mifflin Company, 1992.www.ginandjar.com 14
Thompson, Dennis F., Political Ethics and Public Office. Cambridge, Mass.: Harvard
University Press, 1987
Vasu, Michael L., Steward D.W., Gorson, G.D., Organizational Behavior and Public
Management, 2nd ed., New York, N.Y.: Marcel Dekker, Inc, 1990.
Waldo, Dwight, Administrative State, New York: Ronald Press, 1948.
_____________, Reflections on Public Morality dalam Administration & Society, 6.

warisan

KATA PENGANTAR

بســـــــــم الله الرحمن الرحــــــيم
اَلْحَمْدُ لِلّـــهِ رَبّْ الْعـَـــا لَمِــــيْنَ. والصَّلاةُ وَالسَّــــلاَمُ عَلَـى اَشْـــــرَفِ الْاَنْبِيَـــــاءِ والْمُرْسَلِــيْنَ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِــه وَاَصْحــــَابِهِ اَجْمَعِـــــــيْنَ, اَمّـــــابَعْــــــدُ.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt, karena berkat nikmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Shalawat dan salam kami persembahkan kepada nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah mewariskan berbagai macam hukum sebagai pedoman umatnya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami minta maaf kepada semua pihak dan kami sangat mengaharapkan kritik dan saran demi tercapainya pelajar yang cerdas, professional dan benar.

Palu, 5 Desember 2011
Penulis,

Kelompok V (HADIST TARBAWI PBA )

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ………………………………………………….....
B. Rumusan masalah …………………………………………………
C. Tujuan penulisan ………………………………………………….
BAB II KEWARISAN
A. Pengertian Waris ……………………………………………………
B. Sebab-sebab Kewarisan ……………....……………………………
C. Sebab-sebab Penghalang Kewarisan………………………………..
D. Pengertian Wasiat…………………………………………………..
E. Wakaf……………………………………………
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………
B. Saran …………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA

Kamis, 29 Desember 2011

ushul fiqhi

BAB II
PENGRTIAN DAN RUANG LINGKUP USHUL FIQHI

A. Pengertian Ushul Fiqhi
Kata ”fiqhi” secara etimologi berati paham yang mendalam. Sedangkan kata “ushul”Yang merupakan jamak darikata “ashal” (اصل) secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya. Dengan demikian “ushul fiqhi” berarti :” ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci”. Atau dalam artian lain adalah: “kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.
Misalnya dalam kitab-kitab fiqhi ditemuka ungkapan, mengerjakan sholat itu hukumnya wajib. Wajibnya mengerjakan sholat disebut “hukum syara”. Tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits bahwa sholat itu hukunya wajib. Yang tersebut dalam al-Qur’an hanyalah mengerjakan sholat yang berbunyi:
( اقيموا الصلاة ) yang artinya “dirikanlah sholat”.
Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan sholat itu disebut “dalil syara’”. Untuk merumuskan kewajiban sholat yang disebut “hukum syara’” dari firman Allah (اقيموا الصلاة) yang disebut “dalil syara’” itu ada aturanya dalam kaidah. Umpanya setiap perintah itu menunjukan wajib. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ilmu ushul fiqhi”.
B. Objek kajian ushul fiqhi dan fiqhi
a. Objek kajian ushul fiqhi
Adapun yang menjadi objek pembahasan ushul fiqhi adalah dalil – dalil syara’ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali. Ulama sepakat bahwa al-Qur’an adalah dalil syara’ yang pertama. Gambaran Al-Qur’an kepada hukum tidak hanya mengunakan satu kalimat tertentu, akan tetapi beragam bentuknya, seperti: kalimat perintah (shighat amr), kalimat larangan (shighat nahy), kalimat yang bersifat umum, mutlak, dan sebagainya. Ketika pembahasan mereka dapat menemukan bahwa shighat (bentuk) amr (perintah) itu mengandung makna pegwajiban (al-ijab), shighat nahy (larangan) mengandung makna pengharaman (al-tahrim), sighat am (umum) mengadug makna tercakupnya seluruh satuan yan terdapat dalam pengartian umum itu secara pasti, dan shighat ithlaq (mutlak) mengandung makna pengertian tetapnya hukum secara mutlak, maka mereka menciptakan kaidah-kaidah sebagai berikut :
 Perintah itu untuk mewajibkan الا مر للا بجاب ))
 Larangan itu untuk mengharamkan (النهى للتحريم )
 Lafaz umum itu mencangkup seluruh satuannya (العام ينتظيم جميع اضراده قطعا)
 Lafaz mutlak itu mengacu kepada satuan secara umum tanpa terkait (المطلق يدل على جميع اضراده بلا قيد )

Dalam versi lain, sebagian ushul fiqhi mengatakan bahwa objek pembahasan ilmu ushul fiqhi kembali pada memetapkan dalil-dalil untuk hukum-hukum (اثبات الادلة للآ حكام) dan tetapnya hukum-hukum berdasarkan dalil-dalil ( ثبوت الادلة بالا حكام ). Untuk melengkapi persepsi tentang pembicaraa ini dapat dilihat dalam firman Allah swt yakni: (فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ) artinya:
” Maka merdekakanlah olehmu seorang budak”.
Adalah dalil tentang wajibnya memerdekakan budak dari orang yang muzhihar istrinya, tetapi bermaksud rujuk. Kalimat raqabah dalam ayat itu berarti seorang budak secara mutlak tanpa mengaitkannya dengan sesuatu sifat tertentu, sehingga mukallaf yang dituju oleh perintah itu bebes memilih seorang budak; Muslim atau bukan. Dengan memahami keterangan diatas,ada ulama yang lebih memerinci lagi objek pembahasan ilmu ushul fiqhi ini kepada pembahasan tentang dalil,hukum, kaidah-kaidah, dan ijtihat.
b. Objek kajian fiqhi
Yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqi ialah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’ . Perbuatan tersebut dikelompokan dalam taga kelompak yaitu: ibadah, mu’amalah, dan uqabah
Ibadah mencangkup segala persoalan yang menyangkut dengan akhirat. Dan mu’amalah mencangkup hal yang berhubungan dengan sewa-menyewa, jual beli, pinjam meminjam, amanah dan harta pninggalan, serta termasuk didalamnya munakahat dan siyasah. Sedangkan uqabah mencangkup segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana.

C. Manfaat mempelajari ushul fiqhi
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqhi yang dirumuskan oleh ulama terdahulu,maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang belum ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqhi terdahulu,maka kita akan cari jawabanya dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah masalah hukum fiqhi yang terurai dalam kitab fiqhi, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapanya diakibatkan oleh perubahan zaman, dan ingin merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya kaidah baru dalam fiqhi. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama kontemporer dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ilmu ushul fiqhi.
D. Maqasid Al- Syariah
Maqasid Al- Syariah berarti tujuan Allah dan Rosulnya dalam memutuskan hukum islam. Sementara menurut Wahba Al-Zuhili Maqasid Al- Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukmnya. Dan adapun 5 pokok tujuan islam yaitu:
1. Untuk memelihara agama
2. Untuk memelihara jiwa
3. Untuk memelihara akal
4. Untuk memelihara keturunan, nasab, dan kehormatan
5. Untuk memelihara harta benda


BAB III
TUJUAN POKOK DISYARIATKANYA HUKUM ISLAM
A. Dharuriyat
Dharuriyat ialah segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia harus ada demi kemaslahatan meraka. Hal itu tersimpul kepada lima sendi utama: yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatanya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
B. Hajiyat
Hajiat ialah segala sesuatu yang sangt dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya, ketiadaan aspek hajiat ini tidak akan sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja. Prinsip utama dalam aspek hajiaat ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mereka.
C. Tahsiniyah
Tahsiniyah ialah tindakan atau sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan Al-Mukarim Al-Ahlak, serta pemeliharaan tindakan- tindakan utama dalam bidang ibadah,adat, dan muamalah. Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan seperti tidak terwujud dalam aspek dharuriyat.
Aspek tahsiniyah dalam aspek ibadah ialah kewajiban membersihkan diri dari najis,menutup aurat, berhias bila hendak ke mesjid, dan melakukan amal-amal sunnah dan sedekah.
1. Sekitar pengertian ijtihad
Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata jahada (جهد ) yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata “ijtihad” dipakai mengikuti wazan Ifti’al ( افتعال ) yang “berarti bersngkutan dalam pekerjaan”. Dengan demikian, kata ” jihad” ( جهد) dan “ijtihad” ( اجتهاد) berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata ijtihad bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedangkan kata jihadbergera dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.
Ulama ushuliyin mengartikan ijtihad dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam mengistinbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperici.
a. Dasar hukum ijtihad
Firman Allah swt:
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.



Hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a mengenai ijtihad.

اَلْحَاكِمُ اِذَا اجْتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِنِ جْتَهَدَ فَاَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ. (رواه بخارى و مسلم)

Artinya:
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

b. Fungsi ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran.
c. Lapangan ijtihad
Pada prinsibnya, ijtihad adalah manifestasi pemikiran kefilsafatan. Ijtihad juga bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian.
d. Syarat-syarat ijtihad
1. Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. yaitu harus paham ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk didalamnya harus mengetahui Asbab al-Nuzul (latar belakang turunnya al-Qur’an), Nasikh Mansukh (ayat yang mengganti atau yang di ganti), Mujmal Mubayyan (kalimat yang global dan yang parsial), al-’Am wa al-Khash (kalimat yang umum dan yang khusus), Muhkam Mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samar), dan sebagainya.
2. Memiliki ilmu yang luas tentang Hadits Nabi Muhammad SAW, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti Asbab al-Wurud (latar belakang munculnya Hadits) dan Rijal al-Hadits (sejarah para perawi Hadits)
3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama (‘Ijma)
4. Memahami Qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum
5. Menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu Nahwu, Sharf, Balaghah dan lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara memproduksi hukum)
6. Memahami serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan hukum Islam adalah rahmah li al-alamin, yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyyat (primer atau pokok), hajiyyat (sekunder atau pelengkap), dan tahsiniyyah (tersier atau keindahan)
7. Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum.









BAB IV
HUKUM-HUKUM SYARIAT
A. Pembahasan hukum dalam ilmu ushul fiqhi ada Empat, sebagai berikut:
1. Hakim
Hakim yaitu orang yang menjatuhkan keputusan.
2. Hukum
Hukum yaitu keputusan yang dikeluarkan oleh Hakim.
3. Mahkum Faih
Mahkum Faih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum.
4. Mahkum Alaih
Mahkum Alaih yaitu mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang bersangkutan dengan hukum.
B. Hukum Syara’
Hukum syara’ menurut istilah Ulama Ushul, ialah doktrin (khitab) syara’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (Taqrir) sebagaimana firman Allah swt:
اَوْفُوْا بِا لعُقُوْدِ Artinya:”penuhilah janji”. Adalah kitab syari’ yang bersangkutan dengan memenuhi janji yang dituntut untuk mangerjakannya. Adapun hukum syara’ menurut Ulama Fiqhi ialah, efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan, seperti wajib, haram dan mubah. sebagaimana firman Allah swt:
اَوْفُوْا بِا لعُقُوْدِ Artinya:”penuhilah janji”.
Dari definisi hukum syara’ menurut istilah Ulama Ushul, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu ada kalanya bersangkutan dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau dari segi diperintah memilih atau dari segi ketetapanya.
C. Lima jenis hukun dalam istilah fiqhiاحكام الخمسة) (
1. Taqliq
Menurut bahasa ialah mengulangi, meniru, mengikuti. Sedangkan menurut istilah ialah penerimaan perkataan seseorang, sedangkan anda tidak mengetahui dari mana asal kata itu.
2. Ittiba’
Yang berarti menurut atau mengikuti. Ittiba’ ialah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rosul saw.
3. Talfiq
Berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Artinya mengambil atau mengikuti hujum dari satu peristiwa,atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab.
4. Qaul Qadim
Ialah fatwah atau pendapat imam syafi’I ketika berada di Iraq, pda zaman Khalifah Harun Ar-Rawyid.
5. Qaul Jadid
Ialah fatwah atau pendapat imam syafi’I setelah berpindahnya ke Mesir.


D. Pembagian hukum wadh’i ( positif ) yaitu:
1. Sebeb 4. Rukhsah
2. Syarat 5. Azimah
3. penghalang (mani’)

E. sumber hukum dan dalil hukum dalam islam
Dalam bahasa Arab istilah sumber hukum Islam mempunyai beberapa penyebutan, diantaranya adalah أصول الأحكام ushul al-ahkam (dasar hukum),مصادر الأحكام mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) dan دليل dalil, ketiganya memiliki makna yang hampir sama (muradif). Kata “Sumber-sumber hukum Islam” merupakan terjemah dari lafadz مصادر الأحكام (mashadir al-ahkam). Istilah ini kurang populer di kalangan ulama fiqh klasik, mereka lebih sering menggunakan istilah dalil-dalil syariat الأدلة الشرعيةl (Al-adilah asy-syar'iyyah). Kata "sumber hukum" hanya berlaku pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah, sedangkan "dalil-dalil hukum" adalah merupakan alat (metode) dalam menggali hukum-hukum dari kedua sumber hukum Islam.
Sedangkan الدليل (Ad-dalil ) merupakan petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu. Kata dalil adalah kata dalam bentuk tunggal (mufrad) الدليل (al-dalil) bentuk jama'nya adalah الأدلة (Al-adilah). Dalil menurut bahasa adalah :
االهادي إلى أي شيء حسي أو معنوي
“Petunjuk jalan kepada segala sesuatu baik yang sifatnya real/nyata atau bersifat maknawi/abstrak”.
Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan (ijma')para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits, hal ini sebagaimana yang termaktub dalam QS Al-Nisaa ayat 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.( QS Al-Nisaa ayat: 59).
Sedangkan hadist Nabi yang menunjukan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah sumber hukum Islam adalah riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Artinya:
“Dari Miqdam bin Ma'di Kariba Al-Kindy dia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah) ketahuilah sungguh telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah). (H.R Ahmad) no. 16546.

a. Pengertian Qiyas
Secara etimologi, kata “qiyas” berarti ( قدر ) artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sedangkan menurut terminologi terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantaranya adalah, menurut Shadru Al-Syari’ah mengatakan bahwa:
تَعْدِيَةُ حُكْمٍ مِنَ اْلآَصْلِ اِلَى اْلَفرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَا تُعْرَفُ بِمُجَرَّ دِفَهْمِ اللُّغَةِ
“Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena ada kesatuan illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughawi semata”.

Dalam Syarah Al-Waraqat disebutkan bahwa qiyas adalah “Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok) dengan sebab adanya illat yang sama”.
b. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun yaitu:
1. Ashl
Ashl merupakan masalah yang ditetapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah,yaitu wadah yang terdapat padanya hukum untuk disamakan dengan yang lain. Disamping itu, ada yang menyebutnya dalil Al-hukum.
2. Hukum Ashl
Hukum Ashl adalah hukum syara’terdapat pada ashl yang ditetapkan nash atau ijma, yang handak diberlakukan pada furu’dengan cara qiyas.

3. Furu’
Furu’ atau cabang adalah suatu masalah yang tidak ada ketegasan hukumya dalam Al-Qur’an, sunnah dan ijma’yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.
4. Illat
Secara bahasa adalah sesuatu yang bisa merubah keadaan.
c. Contoh penerapan qiyas dalam masalah minuman keras dan narkotika.
Allah mengharamkan khamar dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamar, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamar. Karena sebab atau alasan pengharaman khamar yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamar.
Keharaman narkotika yang ditetapkan melalui qiyas terhadap ketentuan keharaman khamar dalam surah Al-Maidah ayat:90
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٩٠﴾
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.(Q.S. Al-Maidah: 90)


BAB V
METODE IJTIHAD

A. Mashlahah Mursalah ( المصلحة المرسلة )
1. Pengertian
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu “Mashlahah” ( المصلحة ) dan “Mursalah” ( المرسلة ) yang berhubungan keduanya dalam bentuk sifat- mausufh, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkn bahwa ia bagian dari Al-mashlahah. Mashlahah (مصلحة ) berasal dari kata “salahah” ) ( صلح dengan penambahan alif diawalnya yang secara arti katab”baik” ia asalah masdar dengan bdengan arti kata “shalahan” صلاح )), yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian mashlahah dalam bajhasa Arab yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artian umum yaitu segala sesuatu yang bermanfat bagi manusia.
“Mursalah” (مرسلة ) adalah isim maf’ul (objek) dari fiil madhi yaitu “rasala” (رسل ) dengan penambahan alif pada awalnya sihingga menjadi “arsala”( ارسل ). Seara etimologis berarti terlepas. Maksudnya ialah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukan bolehnya dilakukan. Adpun definisi mashlahah mursalah menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustasyfa merumuskan mashlahah mursalah sebagai berikut:
مَالَمْ يَشْهَدْلَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْبُطْلَانِ وَلَا بِا ْلإِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
“Apa-apa mashlahah yang tidak ada bukti baginya dari syara’dalam bentuk nash tertentu yang membatalkanya dan tidak ada yang memerhatikanya”.
Dari definisi diatas maka kita dapat menarik kesinpulan bahwa mashlahah mursalah ialah “sesuatu yang baik menurut akal, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum”.
2. UU di Indonesiayang bersumber dari kaidah mashlahah mursalah
pada peraturan UU lalu lintas yaitu pada peraturan UU lalu lintas.
B. Syar’u Man Qablana
Para ulama menjelaskan bahwa syriat sebekum kita atau syar’u man qablana (شرع من قبلنا ) ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oen para Nabi dan Rosul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad saw.
Adapun contoh syariat umat terdahulu yang masih dilestarikan dalam syariat islam (syariat Nabi Muhammad saw) ialah, sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits disyariatkan untuk umat terdahulu dan dinyatakan pula berkaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya yakni: dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾
Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah:183)
Dalam ayat ini, dijeskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad saw. Contoh yang kedua dalam hadits Rosul saw ialah:
ضَحُّوْا فَإِنَّهَا سُنَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَهِيْمَ
Artinya:
“ Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu,Ibrahim”.

C. Saddu Al-Zari’ah
Secara etimologi Al-Zari’ah ialah itu berarti:
الَوسِيْلَةُ الَّتِى يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى الشَّيْئِ سَوَاءٌ كَاَن حَسِيًا اَوْ مَعْنَوِيًّا
“Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik baik atau buruk”.
Untuk menempatkanya dalam bahasa sesuia yang dituju, kata dzariah itu didahului dengan saddu (سدّ) yang artinya menutup; maksudnya ialah menutup jalan terjadinya kerusakan. Dan perantara kepada sesuatu perbuatan yang dikenai hukum, maka ia disebut dzari’ah. Adapun contoh Saddu Al-Zari’ah ialah:
Sebanarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu dilarang. Ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang itu diantaranya ialah:




وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.(Q.S Al-An-am:108).
Cotoh yang kedua Saddu Al-Zari’ah ialah,sebanarnya menghentakan kaki itu boeh-bolehnsaja bagi perempuan, namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi itu dapat diketahi orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakan kaki itu dilarang.sebagaimana firman Allah swt:
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾
Artinya:
”Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.(Q.S. An-nur: 31).






BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ilmu ushul fiqhi”. Adapun yang menjadi objek pembahasan ushul fiqhi adalah dalil – dalil syara’ itu sendiri. Yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqi ialah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.
lima sendi utama: yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatanya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu ada kalanya bersangkutan dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau dari segi diperintah memilih atau dari segi ketetapanya. Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan (ijma')para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa, makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekeliruan yang terdapat pada makalah ini, oleh sebab itu penulis mengharapkan sumbangsi dari Bapak Dosen yang berupa kritikan halus atau saran sebagai masukan, demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin Amir, Ushul fiqhi jilid 2. Ed.1. cet. 5; xiv, 482 hlm,23 cm. Jakarta: Perpustakaan Nasional.Kencana 2009.
Syarifudin Amir, Ushul fiqhi 1. Ed.1. cet. 5; xii, 482 hlm,23 cm. Jakarta: Perpustakaan Nasional, Kencana 2009.
Kato Alaidin,Haji. Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqhi. Ed.1, cet.1. Jakarta: PT. Raja grafindo,2004.

ushul fiqhi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu syariah itu pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama, tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagian hidup didunia maupun diakhirat, maka itulah yang disebut fiqhil. Kedua, tentang cara, usaha, dan ketentuan dalam menghasilkan materi fiqhi tersebut, inilah yang disebut ushul fiqhi.
Dengan kita mempelajari ilmu fiqhi dan ushul fiqhi, maka dengan demikian kita dapat mengetahui hukum-hukum yang setiap saat terjadi dakalangan masyarakat kita sekarang ini. Dan salah satu tujuan ushul fiqhi tidak lain kecuali untuk menetapkan atau menemukan nash yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dewasa ini sangat banyak kita jumpai persoalan-persoalan atau masalah-masalah yang sudah tidak sesuai dengan zaman. Untuk itu, dengan adanya ilmu fiqhi dan ushul fiqhi, dapat membantu kita untuk mempermudah masalah mukum terutama hukum islam.
B. Rumusan Masalah
1. Kemukakan pengertian dan ruang lingkup ushul fiqhi?
2. Apa tujuan pokok disyriatkannya hukum islam?
3. Kemukakan hukum-hukum syariat?
4. Sebutkan lima hukum dalam istilah fiqhi?


BAB II
PENGRTIAN DAN RUANG LINGKUP USHUL FIQHI

A. Pengertian Ushul Fiqhi
Kata ”fiqhi” secara etimologi berati paham yang mendalam. Sedangkan kata “ushul”Yang merupakan jamak darikata “ashal” (اصل) secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya. Dengan demikian “ushul fiqhi” berarti :” ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci”. Atau dalam artian lain adalah: “kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.
Misalnya dalam kitab-kitab fiqhi ditemuka ungkapan, mengerjakan sholat itu hukumnya wajib. Wajibnya mengerjakan sholat disebut “hukum syara”. Tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits bahwa sholat itu hukunya wajib. Yang tersebut dalam al-Qur’an hanyalah mengerjakan sholat yang berbunyi:
( اقيموا الصلاة ) yang artinya “dirikanlah sholat”.
Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan sholat itu disebut “dalil syara’”. Untuk merumuskan kewajiban sholat yang disebut “hukum syara’” dari firman Allah (اقيموا الصلاة) yang disebut “dalil syara’” itu ada aturanya dalam kaidah. Umpanya setiap perintah itu menunjukan wajib. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ilmu ushul fiqhi”.
B. Objek kajian ushul fiqhi dan fiqhi
a. Objek kajian ushul fiqhi
Adapun yang menjadi objek pembahasan ushul fiqhi adalah dalil – dalil syara’ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali. Ulama sepakat bahwa al-Qur’an adalah dalil syara’ yang pertama. Gambaran Al-Qur’an kepada hukum tidak hanya mengunakan satu kalimat tertentu, akan tetapi beragam bentuknya, seperti: kalimat perintah (shighat amr), kalimat larangan (shighat nahy), kalimat yang bersifat umum, mutlak, dan sebagainya. Ketika pembahasan mereka dapat menemukan bahwa shighat (bentuk) amr (perintah) itu mengandung makna pegwajiban (al-ijab), shighat nahy (larangan) mengandung makna pengharaman (al-tahrim), sighat am (umum) mengadug makna tercakupnya seluruh satuan yan terdapat dalam pengartian umum itu secara pasti, dan shighat ithlaq (mutlak) mengandung makna pengertian tetapnya hukum secara mutlak, maka mereka menciptakan kaidah-kaidah sebagai berikut :
 Perintah itu untuk mewajibkan الا مر للا بجاب ))
 Larangan itu untuk mengharamkan (النهى للتحريم )
 Lafaz umum itu mencangkup seluruh satuannya (العام ينتظيم جميع اضراده قطعا)
 Lafaz mutlak itu mengacu kepada satuan secara umum tanpa terkait (المطلق يدل على جميع اضراده بلا قيد )

Dalam versi lain, sebagian ushul fiqhi mengatakan bahwa objek pembahasan ilmu ushul fiqhi kembali pada memetapkan dalil-dalil untuk hukum-hukum (اثبات الادلة للآ حكام) dan tetapnya hukum-hukum berdasarkan dalil-dalil ( ثبوت الادلة بالا حكام ). Untuk melengkapi persepsi tentang pembicaraa ini dapat dilihat dalam firman Allah swt yakni: (فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ) artinya:
” Maka merdekakanlah olehmu seorang budak”.
Adalah dalil tentang wajibnya memerdekakan budak dari orang yang muzhihar istrinya, tetapi bermaksud rujuk. Kalimat raqabah dalam ayat itu berarti seorang budak secara mutlak tanpa mengaitkannya dengan sesuatu sifat tertentu, sehingga mukallaf yang dituju oleh perintah itu bebes memilih seorang budak; Muslim atau bukan. Dengan memahami keterangan diatas,ada ulama yang lebih memerinci lagi objek pembahasan ilmu ushul fiqhi ini kepada pembahasan tentang dalil,hukum, kaidah-kaidah, dan ijtihat.
b. Objek kajian fiqhi
Yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqi ialah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’ . Perbuatan tersebut dikelompokan dalam taga kelompak yaitu: ibadah, mu’amalah, dan uqabah
Ibadah mencangkup segala persoalan yang menyangkut dengan akhirat. Dan mu’amalah mencangkup hal yang berhubungan dengan sewa-menyewa, jual beli, pinjam meminjam, amanah dan harta pninggalan, serta termasuk didalamnya munakahat dan siyasah. Sedangkan uqabah mencangkup segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana.

C. Manfaat mempelajari ushul fiqhi
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqhi yang dirumuskan oleh ulama terdahulu,maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang belum ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqhi terdahulu,maka kita akan cari jawabanya dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah masalah hukum fiqhi yang terurai dalam kitab fiqhi, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapanya diakibatkan oleh perubahan zaman, dan ingin merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya kaidah baru dalam fiqhi. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama kontemporer dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ilmu ushul fiqhi.
D. Maqasid Al- Syariah
Maqasid Al- Syariah berarti tujuan Allah dan Rosulnya dalam memutuskan hukum islam. Sementara menurut Wahba Al-Zuhili Maqasid Al- Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukmnya. Dan adapun 5 pokok tujuan islam yaitu:
1. Untuk memelihara agama
2. Untuk memelihara jiwa
3. Untuk memelihara akal
4. Untuk memelihara keturunan, nasab, dan kehormatan
5. Untuk memelihara harta benda


BAB III
TUJUAN POKOK DISYARIATKANYA HUKUM ISLAM
A. Dharuriyat
Dharuriyat ialah segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia harus ada demi kemaslahatan meraka. Hal itu tersimpul kepada lima sendi utama: yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatanya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
B. Hajiyat
Hajiat ialah segala sesuatu yang sangt dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya, ketiadaan aspek hajiat ini tidak akan sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja. Prinsip utama dalam aspek hajiaat ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mereka.
C. Tahsiniyah
Tahsiniyah ialah tindakan atau sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan Al-Mukarim Al-Ahlak, serta pemeliharaan tindakan- tindakan utama dalam bidang ibadah,adat, dan muamalah. Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan seperti tidak terwujud dalam aspek dharuriyat.
Aspek tahsiniyah dalam aspek ibadah ialah kewajiban membersihkan diri dari najis,menutup aurat, berhias bila hendak ke mesjid, dan melakukan amal-amal sunnah dan sedekah.
1. Sekitar pengertian ijtihad
Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata jahada (جهد ) yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata “ijtihad” dipakai mengikuti wazan Ifti’al ( افتعال ) yang “berarti bersngkutan dalam pekerjaan”. Dengan demikian, kata ” jihad” ( جهد) dan “ijtihad” ( اجتهاد) berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata ijtihad bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedangkan kata jihadbergera dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.
Ulama ushuliyin mengartikan ijtihad dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam mengistinbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperici.
a. Dasar hukum ijtihad
Firman Allah swt:
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.



Hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a mengenai ijtihad.

اَلْحَاكِمُ اِذَا اجْتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِنِ جْتَهَدَ فَاَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ. (رواه بخارى و مسلم)

Artinya:
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

b. Fungsi ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran.
c. Lapangan ijtihad
Pada prinsibnya, ijtihad adalah manifestasi pemikiran kefilsafatan. Ijtihad juga bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian.
d. Syarat-syarat ijtihad
1. Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. yaitu harus paham ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk didalamnya harus mengetahui Asbab al-Nuzul (latar belakang turunnya al-Qur’an), Nasikh Mansukh (ayat yang mengganti atau yang di ganti), Mujmal Mubayyan (kalimat yang global dan yang parsial), al-’Am wa al-Khash (kalimat yang umum dan yang khusus), Muhkam Mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samar), dan sebagainya.
2. Memiliki ilmu yang luas tentang Hadits Nabi Muhammad SAW, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti Asbab al-Wurud (latar belakang munculnya Hadits) dan Rijal al-Hadits (sejarah para perawi Hadits)
3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama (‘Ijma)
4. Memahami Qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum
5. Menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu Nahwu, Sharf, Balaghah dan lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara memproduksi hukum)
6. Memahami serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan hukum Islam adalah rahmah li al-alamin, yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyyat (primer atau pokok), hajiyyat (sekunder atau pelengkap), dan tahsiniyyah (tersier atau keindahan)
7. Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum.









BAB IV
HUKUM-HUKUM SYARIAT
A. Pembahasan hukum dalam ilmu ushul fiqhi ada Empat, sebagai berikut:
1. Hakim
Hakim yaitu orang yang menjatuhkan keputusan.
2. Hukum
Hukum yaitu keputusan yang dikeluarkan oleh Hakim.
3. Mahkum Faih
Mahkum Faih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum.
4. Mahkum Alaih
Mahkum Alaih yaitu mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang bersangkutan dengan hukum.
B. Hukum Syara’
Hukum syara’ menurut istilah Ulama Ushul, ialah doktrin (khitab) syara’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (Taqrir) sebagaimana firman Allah swt:
اَوْفُوْا بِا لعُقُوْدِ Artinya:”penuhilah janji”. Adalah kitab syari’ yang bersangkutan dengan memenuhi janji yang dituntut untuk mangerjakannya. Adapun hukum syara’ menurut Ulama Fiqhi ialah, efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan, seperti wajib, haram dan mubah. sebagaimana firman Allah swt:
اَوْفُوْا بِا لعُقُوْدِ Artinya:”penuhilah janji”.
Dari definisi hukum syara’ menurut istilah Ulama Ushul, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu ada kalanya bersangkutan dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau dari segi diperintah memilih atau dari segi ketetapanya.
C. Lima jenis hukun dalam istilah fiqhiاحكام الخمسة) (
1. Taqliq
Menurut bahasa ialah mengulangi, meniru, mengikuti. Sedangkan menurut istilah ialah penerimaan perkataan seseorang, sedangkan anda tidak mengetahui dari mana asal kata itu.
2. Ittiba’
Yang berarti menurut atau mengikuti. Ittiba’ ialah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rosul saw.
3. Talfiq
Berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Artinya mengambil atau mengikuti hujum dari satu peristiwa,atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab.
4. Qaul Qadim
Ialah fatwah atau pendapat imam syafi’I ketika berada di Iraq, pda zaman Khalifah Harun Ar-Rawyid.
5. Qaul Jadid
Ialah fatwah atau pendapat imam syafi’I setelah berpindahnya ke Mesir.


D. Pembagian hukum wadh’i ( positif ) yaitu:
1. Sebeb 4. Rukhsah
2. Syarat 5. Azimah
3. penghalang (mani’)

E. sumber hukum dan dalil hukum dalam islam
Dalam bahasa Arab istilah sumber hukum Islam mempunyai beberapa penyebutan, diantaranya adalah أصول الأحكام ushul al-ahkam (dasar hukum),مصادر الأحكام mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) dan دليل dalil, ketiganya memiliki makna yang hampir sama (muradif). Kata “Sumber-sumber hukum Islam” merupakan terjemah dari lafadz مصادر الأحكام (mashadir al-ahkam). Istilah ini kurang populer di kalangan ulama fiqh klasik, mereka lebih sering menggunakan istilah dalil-dalil syariat الأدلة الشرعيةl (Al-adilah asy-syar'iyyah). Kata "sumber hukum" hanya berlaku pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah, sedangkan "dalil-dalil hukum" adalah merupakan alat (metode) dalam menggali hukum-hukum dari kedua sumber hukum Islam.
Sedangkan الدليل (Ad-dalil ) merupakan petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu. Kata dalil adalah kata dalam bentuk tunggal (mufrad) الدليل (al-dalil) bentuk jama'nya adalah الأدلة (Al-adilah). Dalil menurut bahasa adalah :
االهادي إلى أي شيء حسي أو معنوي
“Petunjuk jalan kepada segala sesuatu baik yang sifatnya real/nyata atau bersifat maknawi/abstrak”.
Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan (ijma')para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits, hal ini sebagaimana yang termaktub dalam QS Al-Nisaa ayat 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.( QS Al-Nisaa ayat: 59).
Sedangkan hadist Nabi yang menunjukan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah sumber hukum Islam adalah riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Artinya:
“Dari Miqdam bin Ma'di Kariba Al-Kindy dia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah) ketahuilah sungguh telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah). (H.R Ahmad) no. 16546.

a. Pengertian Qiyas
Secara etimologi, kata “qiyas” berarti ( قدر ) artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sedangkan menurut terminologi terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantaranya adalah, menurut Shadru Al-Syari’ah mengatakan bahwa:
تَعْدِيَةُ حُكْمٍ مِنَ اْلآَصْلِ اِلَى اْلَفرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَا تُعْرَفُ بِمُجَرَّ دِفَهْمِ اللُّغَةِ
“Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena ada kesatuan illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughawi semata”.

Dalam Syarah Al-Waraqat disebutkan bahwa qiyas adalah “Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok) dengan sebab adanya illat yang sama”.
b. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun yaitu:
1. Ashl
Ashl merupakan masalah yang ditetapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah,yaitu wadah yang terdapat padanya hukum untuk disamakan dengan yang lain. Disamping itu, ada yang menyebutnya dalil Al-hukum.
2. Hukum Ashl
Hukum Ashl adalah hukum syara’terdapat pada ashl yang ditetapkan nash atau ijma, yang handak diberlakukan pada furu’dengan cara qiyas.

3. Furu’
Furu’ atau cabang adalah suatu masalah yang tidak ada ketegasan hukumya dalam Al-Qur’an, sunnah dan ijma’yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.
4. Illat
Secara bahasa adalah sesuatu yang bisa merubah keadaan.
c. Contoh penerapan qiyas dalam masalah minuman keras dan narkotika.
Allah mengharamkan khamar dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamar, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamar. Karena sebab atau alasan pengharaman khamar yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamar.
Keharaman narkotika yang ditetapkan melalui qiyas terhadap ketentuan keharaman khamar dalam surah Al-Maidah ayat:90
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٩٠﴾
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.(Q.S. Al-Maidah: 90)


BAB V
METODE IJTIHAD

A. Mashlahah Mursalah ( المصلحة المرسلة )
1. Pengertian
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu “Mashlahah” ( المصلحة ) dan “Mursalah” ( المرسلة ) yang berhubungan keduanya dalam bentuk sifat- mausufh, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkn bahwa ia bagian dari Al-mashlahah. Mashlahah (مصلحة ) berasal dari kata “salahah” ) ( صلح dengan penambahan alif diawalnya yang secara arti katab”baik” ia asalah masdar dengan bdengan arti kata “shalahan” صلاح )), yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian mashlahah dalam bajhasa Arab yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artian umum yaitu segala sesuatu yang bermanfat bagi manusia.
“Mursalah” (مرسلة ) adalah isim maf’ul (objek) dari fiil madhi yaitu “rasala” (رسل ) dengan penambahan alif pada awalnya sihingga menjadi “arsala”( ارسل ). Seara etimologis berarti terlepas. Maksudnya ialah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukan bolehnya dilakukan. Adpun definisi mashlahah mursalah menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustasyfa merumuskan mashlahah mursalah sebagai berikut:
مَالَمْ يَشْهَدْلَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْبُطْلَانِ وَلَا بِا ْلإِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
“Apa-apa mashlahah yang tidak ada bukti baginya dari syara’dalam bentuk nash tertentu yang membatalkanya dan tidak ada yang memerhatikanya”.
Dari definisi diatas maka kita dapat menarik kesinpulan bahwa mashlahah mursalah ialah “sesuatu yang baik menurut akal, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum”.
2. UU di Indonesiayang bersumber dari kaidah mashlahah mursalah
pada peraturan UU lalu lintas yaitu pada peraturan UU lalu lintas.
B. Syar’u Man Qablana
Para ulama menjelaskan bahwa syriat sebekum kita atau syar’u man qablana (شرع من قبلنا ) ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oen para Nabi dan Rosul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad saw.
Adapun contoh syariat umat terdahulu yang masih dilestarikan dalam syariat islam (syariat Nabi Muhammad saw) ialah, sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits disyariatkan untuk umat terdahulu dan dinyatakan pula berkaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya yakni: dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾
Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah:183)
Dalam ayat ini, dijeskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad saw. Contoh yang kedua dalam hadits Rosul saw ialah:
ضَحُّوْا فَإِنَّهَا سُنَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَهِيْمَ
Artinya:
“ Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu,Ibrahim”.

C. Saddu Al-Zari’ah
Secara etimologi Al-Zari’ah ialah itu berarti:
الَوسِيْلَةُ الَّتِى يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى الشَّيْئِ سَوَاءٌ كَاَن حَسِيًا اَوْ مَعْنَوِيًّا
“Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik baik atau buruk”.
Untuk menempatkanya dalam bahasa sesuia yang dituju, kata dzariah itu didahului dengan saddu (سدّ) yang artinya menutup; maksudnya ialah menutup jalan terjadinya kerusakan. Dan perantara kepada sesuatu perbuatan yang dikenai hukum, maka ia disebut dzari’ah. Adapun contoh Saddu Al-Zari’ah ialah:
Sebanarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu dilarang. Ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang itu diantaranya ialah:




وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.(Q.S Al-An-am:108).
Cotoh yang kedua Saddu Al-Zari’ah ialah,sebanarnya menghentakan kaki itu boeh-bolehnsaja bagi perempuan, namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi itu dapat diketahi orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakan kaki itu dilarang.sebagaimana firman Allah swt:
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾
Artinya:
”Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.(Q.S. An-nur: 31).






BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ilmu ushul fiqhi”. Adapun yang menjadi objek pembahasan ushul fiqhi adalah dalil – dalil syara’ itu sendiri. Yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqi ialah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.
lima sendi utama: yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatanya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu ada kalanya bersangkutan dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau dari segi diperintah memilih atau dari segi ketetapanya. Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan (ijma')para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa, makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekeliruan yang terdapat pada makalah ini, oleh sebab itu penulis mengharapkan sumbangsi dari Bapak Dosen yang berupa kritikan halus atau saran sebagai masukan, demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin Amir, Ushul fiqhi jilid 2. Ed.1. cet. 5; xiv, 482 hlm,23 cm. Jakarta: Perpustakaan Nasional.Kencana 2009.
Syarifudin Amir, Ushul fiqhi 1. Ed.1. cet. 5; xii, 482 hlm,23 cm. Jakarta: Perpustakaan Nasional, Kencana 2009.
Kato Alaidin,Haji. Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqhi. Ed.1, cet.1. Jakarta: PT. Raja grafindo,2004.